JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Mahkamah Agung (MA) Syarifuddin mengatakan penanganan perkara lingkungan saat ini menjadi tantangan terbesar para hakim baik di tingkat nasional, regional maupun global. Pasalnya, kasus tersebut terjadi akibat perubahan iklim yang tidak mengenal batas serta mengancam keamanan global.
"Terutama tentang peran kita sebagai hakim dan bagaimana kita dapat memenuhi hak aspirasional untuk hidup di lingkungan yang bebas dari pencemaran," ujar Ketua MA, Syarifuddin saat membuka acara Workshop Online tentang lingkungan hidup untuk para hakim se Asia Tenggara, di Jakarta pada 1 - 4 November 2021.
Menurut Ketua Council of ASEAN Chief Justices (CACJ) ini, salah satu dampak perubahan iklim ialah terjadinya peningkatan frekuensi cuaca ekstrem yang menimbulkan bencana seperti banjir dan badai. Kondisi itu dinilainya karena dipengaruhi prasarana kota dan kabupaten, termasuk dalam hal akses air minum bersih juga sumber daya lain yang menunjang pembangunan berkelanjutan.
"Tantangan lain yang perlu diantisipasi adalah pelepasan gas rumah kaca oleh manusia ke atmosfer," tambahnya.
Oleh karena itu, melalui forum yang mempertemukan hakim se-ASEAN dan para pakar lingkungan hidup, ia berharap mampu menghasilkan pikiran penting bagi para hakim dalam penerapan prinsip lingkungan.
"Workshop seperti ini adalah kesempatan langka untuk mengambil hikmah mengatasi berbagai tantangan dan berpikir out of the box," harapnya.
Ia memandang penting seluruh rangkaian kegiatan untuk berbagi pengalaman terkait penanganan perkara lingkungan yang dijalankan oleh masing-masing negara ASEAN.
"Terutama perkara di bidang kehutanan, kelautan, dan energi terbarukan. Hal ini merupakan tantangan bersama di tingkat global dan nasional," urainya.
Syarifuddin mengakui, perkara ligitasi perubahan iklim di Indonesia merupakan perkara baru dan unik. Ini karena, ungkapnya, klaim perubahan iklim dikejar sebagai ganti rugi sekunder di bawah beberapa klaim gugatan primer lainnya seperti pembalakan liar dan gugatan kebakaran hutan.
"Kedua, alih-alih mengajukan tuntutan atas kerusakan iklim, pemerintah yang menjadi penggugat dalam perkara-perkara tersebut, terutama dalam perkara pembalakan liar dan kebakaran hutan, justru mengejar tuntutan biaya pengurangan emisi," ucapnya.
Dengan cara di atas, imbuhnya, pengadilan Indonesia telah membebaskan para penggugat dari tugas yang tampaknya mustahil untuk membuktikan hubungan kausal antara emisi gas rumah kaca oleh tergugat dan kerugian penggugat akibat perubahan iklim.
"Dengan demikian, putusan pengadilan Indonesia menunjukkan bahwa litigasi perubahan iklim berbasis gugatan memang dimungkinkan," tandasnya.
Sebagai informasi, Mahkama Agung RI sedang melangsungkan workshop online bertema 'Towards Climate Justice: Challenge, Strategy and Future Trend in Climate Change Adjudication'. Acara digelar selama 4 hari dan dikuti hakim lingkungan hidup se-ASEAN yang tergabung dalam forum Council of ASEAN Chief Justices (CACJ).(bh/ams) |