JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Persidangan perkara dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) dengan terdakwa Masyhuri Hasan kembali dilanjutkan. Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (3/11) itu, masih beragendakan pemeriksaan para saksi.
Saksi yang diperiksa pertama adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary. Dalam kesaksiannya itu, ia menyatakan bahwa proses surat-menyurat antara Andi Nurpati dengan juru panggil yang juga terdakwa Mashyuri Hasan, tidak sesuai prosedur surat-menyurat di KPU.
Menurut dia, semua surat yang masuk ke KPU dianggap asli itu, hanya dapat dinilai masing- masing biro. "Semua surat yang masuk ke kami dianggap asli semua. Lalu, setelah diterima, terus dikirim ke masing-masing biro. Dari masing- masing biro itu baru dikaji, apakah palsu atau asli," kata Abdul
Namun, Andi yang diketahui pernah menyurati Mashyuri Hasan mempertanyakan keputusan MK terkait sengketa kepemilikan kursi Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan (Sulsel) I dan menerima surat jawaban dari MK itu, belakangan diketahui merupakan surat palsu MK.
"Tidak lazim (surat-menyurat seperti itu). (Seharusnya) surat masuk ke TU lalu masuk ke staf saya lalu saya disposisi tergantung ke mana. Dalam kasus ini, disposisi ke Sekjen, Biro Hukum, baru ke Komisioner yang bersangkutan," jelas Abdul Hafiz.
Ia pun menambahkan, komisioner KPU bisa saja menerima surat langsung dari seseorang, tapi prosedur yang ada, Komisioner tersebut harus memberikan surat itu kepada Keseretariatan KPU. "Surat bisa saja diterima dimana saja, tetapi itu masuk ke sekretariatan dulu. Dari sana nanti akan ada pengkajian, karena ada biro terkait untuk mengkaji palsu atau tidaknya surat itu," ungkapnya.
Sementara saksi lain, yakni komisioner KPU Endang Sulastri membantah keterangan bahwa komisiner bisa membuat surat sendiri. Seharusnya surat di buat biro, llau disetujui oleh Sekjen dan baru ditandatangani komisioner. " Kalau membuat surat sendiri ya tidak benar," jelas Endang.
Sebelumnya, terdakwa yang merupakan mantan Juru Panggil MK, Masyhuri Hasan ini terancam pidana penjara paling lama enam tahun terkait kasus pemalsuan surat MK. Masyhuri bersama dengan Panitera MK Zainal Arifin Hoesein membuat surat Nomor 112/PAN.MK/2009 tanggal 14 Agustus 2009, berisi tentang penjelasan yang tidak sesuai dengan putusan MK Nomor 84/PHPU.C/VII/2009 tentang perselisihan pemilu DPR RI di Dapil Sulsel I.
Dalam dakwaan Mashyuri diketahui, Andi Nurpati yang kini menjadi seorang petinggi Partai Demokrat pernah menerima dua surat dari MK yang merupakan jawaban atas permintaan penjelasan KPU terkait sengketa kepemilikan kursi Daerah Pemilihan (Dapil) I Sulawesi Selatan (Sulsel).
Surat pertama diterima Andi, pada tanggal 14 Agustus 2009 dan difax Mashyuri Hasan. Setelah itu, Andi Nurpati menerima surat lainnya dalam substansi yang sama pada tanggal 17 Agustus 2009. Surat diantar langsung oleh Mahsyuri Hasan, dan seorang rekannya di MK ke Andi di gedung Jak TV.
Dikemudian hari, surat tertanggal 14 Agustus 2009 itu diketahui merupakan surat palsu, karena kendati ditandatangani Panitera MK saat itu Zaenal Arifin Hoesin dan berstempel resmi MK, substansi isi surat tak sesuai dengan putusan MK terkait sengketa kepemilikan kursi Dapil Sulsel I.
MK menilai surat yang asli adalah yang dikirimkan pada tanggal 17 Agustus 2009. Hal itu diketahui MK, setelah KPU melalui rapat plenonya yang diketuai Andi Nurpati telah menetapkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura sebagai pihak yang berhak kursi DPR dari Dapil Sulsel I. Seharusnya yang berhak untuk kursi tersebut berdasarkan putusan MK dalam sengketa kepemilikan kursi Dapil I Sulsel, adalah Mestariani Habie dari Partai Gerindra.
Namun, Andi saat memimpin rapat pleno penetapan Dewi Yasin Limpo itu, menggunakan surat jawaban MK tertanggal 14 Agustus 2009. Padaha, ia juga sudah mengantongi surat MK tertanggal 17 Agustus 2011. Atas hal tersebut, Andi mengaku kesalahannya kepada Abdul Hafiz. KPU pun harus menggelar rapat pleno untuk merevisi hasil rapat pleno dan menetapkan Mestariani Habie sebagai pemilik yang sah.(dbs/wmr)
|