JAKARTA, Berita HUKUM - Partai politik yang sudah 10 tahun mengenal kebijakan afirmasi masih tidak menganggap dengan sungguh - sungguh pentingnya keterwakilan perempuan dan selama ini hanya sekedar komoditas politik belaka. Keterwakilan perempuan di legislatif 18% di DPR, 16% di DPRD Provinsi dan 10% di DPRD Kabupaten / Kota. Artinya, laki - laki 82% di DPR serta 84% dan 90% laki - laki di DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Ketimpangan ini harus diperbaiki, dirubah menuju keadilan dan kesetaraan gender.
Untuk percepatan peningkatan partisipasi perempuan dalam politik harus diterapkan secara tegas kebijakan khusus sementara atau afirmasi oleh seluruh pemangku kepentingan, termasuk KPU, hingga kesetaraan partisipasi politik perempuan dan laki - laki terjadi secara natural, antara lain sebagaimana diatur dalam UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota dan harus tertuang penjabarannya dalam kebijakan KPU.
Kenyataan bahwa parpol tidak melakukan kaderisasi perempuan dengan baik sungguh tampak. Hal ini menjadi preseden buruk ke depan dimana tahapan pemilu memasuki tahapan kritis, yaitu rekrutmen caleg partai politik. Disini menjadi ajang pertaruhan parpol dalam mendulang kekuasaan. Dan cara penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak telah terbukti adanya tarung bebas pada pemilu 2009 yang sangat memberatkan dan merugikan perempuan.
Peran KPU sebagai penyelenggara pemilu sekaligus sebagai garda terdepan pengawalan isu keterwakilan perempuan menjadi sangat strategis melalui peraturan KPU. KPU harus meyakini bahwa peraturan keharusan 30% keterwakilan perempuan dalam struktur kepengurusan parpol sampai tingkat daerah merupakan kebijakan untuk memaksa parpol tidak memandang sebelah mata isu keterwakilan perempuan. Sama dengan KPU, Bawaslu juga harus secara sungguh - sungguh melaksanakan tugas dan kewenangannya dengan memberikan perhatian khusus pada isu keterwakilan perempuan.
Kerawanan Verifikasi Partai Politik
Salah satu perbedaan pemberkasan partai politik peserta pemilu tahun 2009 dengan tahun 2014 diantaranya terdapat pada pemberkasan keanggotaan partai politik peserta pemilu, dimana pada pemilu tahun 2009, semua berkas keanggotaan diserahkan kepada KPU Pusat, tapi pada pemilu 2014, tidak semuanya diserahkan ke KPU pusat, seperti legalitas keanggotaan partai politik (KTA, KTP dan lain - lain) hanya disampaikan ke KPU Kab. / kota. Sehingga kami berpikir bahwa pengawasan atau pemantauan harus memiliki fokus, seperti kalau pemantauan atau pengawasan di KPU Pusat harus lebih ditekankan pada Struktur Kepengurusan Partai Politik, Pendanaan Partai Politik, 30% keterwakilan perempuan pada struktur partai politik dan limit waktu pendaftaran. Adapun verifikasi keanggotaan partai politik dan infrastruktur partai politik dalam pengawasannya difokuskan di tingkat kabupaten / kota.
Hal yang cukup rawan pada tahapan verifikasi partai politik ini adalah:
1. Limit waktu kelengkapan berkas pendaftaran partai politik. Pada limit waktu pemberkasan ini, sangat mungkin kelengkapan partai politik akan dilengkapi secara bertahap, namun ketika limit waktunya telah habis, sangat memungkinkan tetap diterima kelengkapan tersebut, dengan berbagai alasan.
2. Akurasi verifikasi. Dimungkinkan adanya tarik menarik keanggotaan bahkan kepengurusan partai politik terutama di level kabupaten / kota, apalagi diindikasikan dengan adanya beberapa partai politik “sempalan” sehingga nama ganda keanggotaan partai politik bahkan kepengurusan di level manapun sangat dimungkinkan
3. Keterwakilan 30 % perempuan pada struktur kepengurusan partai politik di semua level kepengurusan. Seperti pengalaman - pengalaman pemilu sebelumnya, diindikasikan kepengurusan partai politik terutama pada level bawah, tidak memenuhi 30 % pengurus partai politik dari kalangan perempuan, dan faktanya tidak ada sanksi yang tegas terhadap partai politik tersebut.
4. Implikasi Keputusan Mahkamah Konstitusi, yang memutuskan semua partai politik harus diverifikasi termasuk partai politik yang sudah berada di parlemen. Secara psikologis, sebelum adanya keputusan mahkamah konstitusi terkait hal diatas, 9 partai politik yang mendapatkan kursi di parlemen pada pemilu 2009, sudah merasa tidak bermasalah dengan verifikasi, karena tidak harus diverifikasi. Sehingga diindikasikan beberapa partai politik cukup kewalahan untuk mempersiapkan verifikasi tersebut, bahkan diindikasikan ada yang belum siap dengan struktur dan infrastruktur partai politik terutama di level bawah. Yang dikhawatirkan adalah kompromi politik, baik dengan penyelenggara pemilu dan partai - partai yang baru, dengan konsensus semua partai yang memenuhi administratif diloloskan sebagai peserta pemilu.
5. Metode Sampling pada verifikasi faktual. Dalam verifikasi faktual KPU telah menetapkan sampling 10 % dari persyaratan keanggotaan yang tidak menyebar. Hal ini cukup rawan dengan pengkondisian sehingga partai politik secara faktual dimungkinkan hanya akan menyiapkan 10% yang akan diverifikasi, sedangkan 90% tidak dipersiapkan maksimal, karena tidak akan menjadi objek verifikasi.
Sehubungan dengan indikasi beberapa kerawanan di atas, maka kami:
1. Meminta KPU agar secara independen, cermat, akurat, obyektif dan tegas dalam melakukan verifikasi partai politik calon peserta pemilu 2014.
2. Meminta kejelasan dan ketegasan dari KPU terkait dengan Pasal 16 ayat 2a Peraturan KPU No. 12 Tahun 2012 mengenai surat pernyataan yang harus parpol buat apabila tidak mampu memenuhi 30% keterwakilan perempuan di level propinsi dan kabupaten / kota.
3. Meminta kepada KPU untuk tidak meloloskan apabila ditemukan partai politik calon peserta pemilu 2014 yang tidak memasukan 30% keterwakilan perempuan di semua level kepengurusan partai politik.
4. Meminta KPU untuk dapat menerbitkan peraturan KPU yang mewajibkan 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon di setiap dapil, bukan akumulatif di seluruh dapil dan ketegasan sanksi untuk mengembalikan daftar calon yang tidak memenuhi 30% di tiap dapil untuk diperbaiki sampai ada 30% perempuan di setiap dapil.
5. Meminta kepada calon Partai Politik peserta pemilu 2014 agar memenuhi syarat kepengurusan 30% perempuan baik di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten / kota.
6. Meminta kepada Partai Politik peserta pemilu 2014 agar memenuhi pencalonan legislatif 30% perempuan baik di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten / kota dan ditempatkan pada nomor urut strategis. Tidak ditempatkan hanya pada nomor urut 3, 6, dan 9 sebagaimana banyak terjadi pada pemilu 2009.
7. Meminta kepada KPU dan Bawaslu untuk mengantisipasi tindakan yang melanggar prinsip - prinsip penyelenggara pemilu, agar tidak terjadi kompromi politik dalam meloloskan partai politik calon peserta pemilu 2014, dan apabila ditemukan tindakan tersebut, maka KPU tidak ragu untuk memberikan sanksi yang tegas baik kepada penyelenggara maupun kepada calon peserta pemilu.
8. Meminta kepada kepada BAWASLU, pemantau, media dan masyarakat, untuk mengawasi dan memantau proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu, terutama pada verifikasi faktual, diluar sampling yang sdh ditetapkan oleh KPU.
9. Meminta kepada KPU untuk mempunyai niat baik dalam pelibatan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemilu 2014.(bhc/prl/rat)
|