JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Selasa (2/4). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 24/PUU-XVII/2019 dan 25/PUU-XVII/2019 mempermasalahkan ketentuan pengumuman hasil survei dan hitung cepat.
Perkara Nomor 24/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI), diwakili oleh Ketua Umum AROPI Sunarto. Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 UU Pemilu.
"Dengan dihidupkannya kembali frasa larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang dan pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat beserta ketentuan pidananya dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 maka pembentuk undang-undang telah melakukan pembangkangan terhadap perintah konstitusi dan melanggar ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik yaitu asas ketertiban dan kepastian hukum," kata Veri Junaidi selaku kuasa hukum Pemohon kepada Ketua Panel Hakim Arief Hidayat.
Padahal kata Veri, Pemohon secara kelembagaan telah mempersiapkan seluruh resources untuk berpartisipasi dalam "mencerdaskan kehidupan bangsa" melalui pelaksanaan riset atau survei dan mempublikasikannya. Namun demikian, upaya Pemohon tersebut potensial dibatasi atau bahkan dihilangkan dengan keberlakuan pasal-pasal a quo.
Sebagaimana diketahui, seluruh norma dari pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah melalui tiga putusan, yakni Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009, junctoPutusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009, juncto Putusan Nomor 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3 April 2014.
Sedangkan Perkara 25/PUU-XVII/2019 diajukan oleh para Pemohon yang terdiri atas PT Televisi Transformasi Indonesia, PT Media Televisi Indonesia, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT Lativi Mediakarya, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indikator Politik Indonesia dan PT Cyrus Nusantara. Para Pemohon menguji pasal yang serupa dengan perkara sebelumnya, yakni Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu.
Para Pemohon menjelaskan, penundaan publikasi hasil hitungan cepat justru berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu. Terlebih pemilu tahun ini adalah pemilu perdana yang menggabungkan pilpres dan pileg dalam sejarah Indonesia. Warga pemilih pasti sangat antusias untuk segera mendapatkan informasi seputar hasil pemilu.
Menurut para Pemohon, pembatasan waktu dengan ancaman pidana soal hitungan cepat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diuji justru berpotensi menimbulkan berita-berita palsu (hoaks) seputar hasil pemilu. Hal ini menurut para Pemohon akan menambah beban pelaksanaan pemilu bagi penyelenggara pemilu maupun aparat hukum, serta dapat menyulitkan dalam menciptakan tujuan pemilu yang damai, tertib, adil, transparan, dan demokratis.
"Oleh karena pasal-pasal yang diajukan dalam pengujian ini hanya akan berlaku pada tanggal 17 April 2019 mendatang kecuali Pasal 197 ayat (2)UU 1/2015, maka para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk dapat memeriksa dan memutus permohonan ini dengan cepat. Jika Mahkamah tidak dapat memutus permohonan ini dalam putusan akhir sebelum l17 April 2019, maka para Pemohon mohon kepada Mahkamah untuk dapat memutus putusan sela yang isinya menunda pelaksanaan pasal-pasal a quo hingga adanya putusan akhir," tandas Andi Syafrani selaku kuasa hukum.
Nasihat Hakim
Menanggapi dalil-dalil permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menanggapi kedudukan hukum para Pemohon. "Perlu juga bagi Pemohon, sebagai pintu masuk ke permohonan pokok, bisa menyampaikan dan menguraikan kedudukan hukum secara detail. Selain itu baik Pemohon Perkara 24/PUU-XVII/2019 dan 25/PUU-XVII/2019 diharapkan memberikan penguatan konsep doktrin yang kira-kira bisa meyakinkan Mahkamah dan kemudian memberikan penilaian terhadap hal itu," ucap Enny.
Enny juga menyarankan kepada Pemohon agar menjelaskan latar belakang kenapa DPR termasuk Pemerintah merumuskan kembali norma yang dipandang mirip dengan norma yang pernah dibatalkan MK. Lainnya, soal perlu tidaknya MK meminta keterangan dari pihak DPR maupun Pemerintah, hal itu akan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo menasihati Pemohon agar melampirkan bukti-bukti tiga putusan MK terdahulu (Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009, juncto Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009, junctoPutusan Nomor 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3 April 2014). "Paling tidak, susah bagi kami ketika mencari-cari rujukan putusan Pemohon yang tidak dilampirkan dalam permohonan ini," tandas Suhartoyo.(NanoTresnaArfana/LA/MK/bh/sya) |