Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Internasional    
Afghanistan
Kesepakatan Taliban dan Trump yang Menjadi Kunci Kelompok Ini Menguasai Kembali Afghanistan
2021-08-22 00:09:01
 

Bandar udara Kabul mengalami kekacauan saat Taliban mulai menguasai ibu kota Afghanistan.(Foto: Istimewa)
 
AFGHANISTAN, Berita HUKUM - Setelah penarikan pasukan internasional, Taliban menyapu bersih Afghanistan, dan menguasai hampir setiap kota. Jadi, mengapa Amerika Serikat sepakat meninggalkan negara itu setelah 20 tahun berperang?

Pada 2001, NATO memaksa Taliban keluar dari Kabul setelah serangan 11 September di New York dan Washington.

Namun hampir dua dekade kemudian, para pemimpin kelompok militan itu kembali ke ibu kota Afghanistan.

Mereka dengan senang berswafoto di dalam istana presiden setelah hampir seluruh wilayah negara itu di bawah kendali mereka.

Apa yang barangkali paling mengejutkan adalah bukanlah kekalahan militer yang menjadi malapetaka bagi AS dan sekutu NATO-nya sehingga membalikkan semuanya, tetapi kesepakatan damai yang dinegosiasikan secara hati-hati.

Apa yang menyebabkan kesepakatan yang ditandatangani Presiden Donald Trump dan dilaksanakan oleh penggantinya, Joe Biden, dinilai sebagai kesalahan fatal?

Mengapa AS menginginkan kesepakatan dengan Taliban?






A Chinook helicopter can be seen taking off in the background with troops in the foreground


SUMBER GAMBAR,PA MEDIA



Keterangan gambar,


Pasukan NATO awalnya berhasil memaksa kelompok Taliban keluar dari kota-kota besar di Afghanistan.





Sehari setelah Menara Kembar World Trade Center runtuh, presiden AS saat itu George W Bush berjanji "pertempuran ini akan memakan waktu dan menjadi landasan tekad, tetapi jangan salah, kami akan memenangkannya".

Kenyataannya, AS tidak sepenuhnya meraih kemenangan secara militer terhadap Taliban.

Walaupun kelompok ini, yang menampung anggota kelompok militan al-Qaeda yang bertanggung jawab atas serangan 11 September, dengan cepat diusir keluar dari perkotaan dengan intervensi NATO, mereka menghabiskan beberapa tahun guna menyusun kekuatan kembali.

Dan pada 2004, kelompok Taliban berada dalam posisi untuk melancarkan pemberontakan terhadap pasukan Barat dan pemerintahan Afghanistan yang baru.

Menanggapi meningkatnya jumlah serangan, presiden AS yang baru saat itu, Barack Obama, meluncurkan "gelombang serangan" pada 2009, secara besar-besaran dengan meningkatkan jumlah pasukan NATO di negara itu, mencapai 140.000 pada puncaknya.

Aksi ini membantu untuk menekan Taliban sekali lagi, tetapi sedikit dampaknya untuk jangka panjang.






warga di Kabul


SUMBER GAMBAR,REUTERS



Keterangan gambar,


Warga Kabul berdesakan dan menggunakan berbagai cara untuk masuk ke bandara.





Ketika konflik tersebut menjadi perang terlama bagi AS, yang merugikan negara sekitar US$978 miliar dan mengakibatkan lebih dari 2.300 tewas, perang ini menjadi semakin tidak populer di mata warga AS dan seruan untuk mengakhiri keterlibatan mereka semakin kencang.

Sementara jumlah tentara AS yang terbunuh setiap tahun relatif rendah setelah mereka secara resmi mengubah peran dalam bentuk pelatihan pada 2014, Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani mengatakan pada 2019 bahwa "lebih dari 45.000 personel keamanan Afghanistan telah membayar pengorbanan terakhir" dalam lima tahun sebelumnya.

Menghadapi situasi ini, penerus Obama, Donald Trump, mulai mengintensifkan negosiasi dengan Taliban, dengan menandatangani kesepakatan pada Februari 2020.

Keputusan itu merupakan sesuatu yang menyenangkan baginya untuk dibicarakan menjelang pemilihan presiden tahun itu.

"Omong-omong, kami sebagian besar berada di luar Afghanistan, seperti yang mungkin Anda ketahui," kata Trump kepada Axios news saat itu.

"Kami sudah di sana (Afghanistan) selama 19 tahun. Kami akan keluar."

Apa yang menjadi kesepakatan?






US and Taliban representatives sign an agrement


SUMBER GAMBAR,GETTY IMAGES



Keterangan gambar,


AS menandatangani kesepakatan damai dengan Taliban setelah melakukan perundingan di sebuah hotel mewah di Doha, Qatar.




AS sepakat untuk menarik sisa-sisa pasukannya dari Afghanistan dan Taliban mengatakan tidak akan membiarkan al-Qaeda atau kelompok ekstremis lainnya beroperasi di wilayah yang mereka kuasai.

Ia juga menyatakan bahwa 5.000 tahanan Taliban akan ditukar dengan 1.000 tawanan pasukan keamanan Afghanistan dan sanksi terhadap kelompok militan Islam akan dicabut.

Perjanjian tersebut hanya melibatkan AS dan Taliban, dengan rencana bahwa Taliban akan bernegosiasi dengan pemerintah Afghanistan setelahnya untuk menentukan bagaimana dan oleh siapa negara itu akan diperintah di masa depan.

Pasukan keamanan Afghanistan - dilatih dengan biaya US$88,32 miliar dan secara teori berjumlah lebih dari 300.000 tentara, akan ditempatkan untuk menjaga situasi saat pembicaraan berlangsung.

"Kesepakatan luar biasa"

Presiden Trump - yang menggambarkannya sebagai "kesepakatan luar biasa" seperti diutarakan kepada penasihat keamanan nasional, John Bolton - mengatakan secara terbuka bahwa rencana itu memiliki "peluang untuk menjadi sangat bagus".

AS pertama kali mulai menarik pasukan di bawah Trump. Pembicaraan tatap muka antara Taliban dan pemerintah Afghanistan dimulai pada September, tetapi kesepakatan tampaknya tidak pernah tercapai sepenuhnya.

Kendatipun tidak ada kemajuan, para penentang Taliban tetap optimis bahwa kesepakatan itu tidak akan berujung kepada malapetaka.

"Ini bukan Vietnam," kata presiden Afghanistan kepada BBC pada Februari. "Ini bukanlah pemerintahan yang tengah kolaps."

Pada bulan Juli, juru bicara Taliban mengklaim "meskipun kami berada di atas angin di medan perang, kami sangat serius mengenai perundingan dan dialog".

Mungkin lebih tepatnya bahwa mereka sudah merebut 10 ibu kota provinsi dalam tujuh hari pada waktu itu.






peta kekuasaan taliban





Presiden AS saat ini Joe Biden - yang meskipun tidak setuju dengan Trump pada hampir setiap kebijakan lainnya - melanjutkan untuk menerapkan kesepakatan pendahulunya.





Kepada pers bulan lalu, Biden mengatakan tidak akan "mengirim generasi Amerika lainnya ke perang di Afghanistan tanpa harapan yang masuk akal untuk mencapai hasil yang berbeda".

"Tentang prospek Taliban bakal menguasai segalanya dan menguasai seluruh negeri, itu sangat tidak mungkin," tambah Biden.

Dan terlepas dari kejadian beberapa hari terakhir, agaknya Presiden Biden telah terjebak dengan keputusannya.

"Jika ada, perkembangan minggu lalu memperkuat bahwa mengakhiri keterlibatan militer AS di Afghanistan sekarang adalah keputusan yang tepat," katanya Senin (16/08) lalu.

Tapi bagi banyak orang, pandangan pemimpin Taliban Mohammad Abbas Stanikzai saat berbicara di ruangan besar sebuah hotel mewah setelah menandatangani kesepakatan dengan adi daya militer terkuat di dunia akhir September lalu, akan lebih mendekati kenyataan.

"Tidak ada keraguan kami telah memenangkan peperangan," katanya. "Tidak ada keraguan sama-sekali."(BBC/bh/sya)




 
   Berita Terkait > Afghanistan
 
  Afghanistan: Eks Presiden Ghani Minta Maaf Kabur ke Luar Negeri Demi 'Selamatkan Kabul dan 6 Juta Penduduknya'
  Afghanistan: Qatar dan Turki Memberi Jalan Bagi Taliban untuk Unjuk Gigi di Panggung Dunia
  Kesepakatan Taliban dan Trump yang Menjadi Kunci Kelompok Ini Menguasai Kembali Afghanistan
  Afghanistan: Perang Selama 2 Dekade, Berikut Fakta-faktanya dalam 10 Pertanyaan
  Biden Janji Bantu Afghanistan secara Berkelanjutan di Tengah Penarikan Pasukan AS
 
ads1

  Berita Utama
Pemerintah Akui Kepengurusan Ikatan Notaris Indonesia Kubu Irfan Ardiansyah

Dasco Gerindra: Prabowo dan Megawati Tak Pernah Bermusuhan, Saya Saksinya

Pengadilan Tinggi Jakarta Menghukum Kembali Perusahaan Asuransi PT GEGII

Presidential Threshold Dihapus, Semua Parpol Berhak Usulkan Capres-Cawapres

 

ads2

  Berita Terkini
 
Pemuda Pancasila PAC dan Srikandi Sawah Besar Salurkan Bantuan untuk Korban Kebakaran Mangga Dua Selatan

Sri Mulyani Beberkan Alasan Prabowo Ingin Pangkas Anggaran Kementerian hingga Rp 306 Triliun

PKS Dinilai Gagal Move On Buntut Minta Anies Tak Bentuk Parpol, Berkaca Pilkada Jakarta dan Depok

KPK Bawa 3 Koper Setelah Geledah Rumah Wantimpres Era Jokowi

Mardani: Anies atau Ganjar Tidak Mengajak Pendukungnya Menyerang Prabowo

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2