Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Virus Corona
Kerumunan, Tema Politik Yang Lagi Ngetrend
2021-05-17 16:36:43
 

 
Oleh: Dr. H. Tony Rosyid

AWAS KERUMUNAN! Begitulah warning dari pemerintah dan satgas covid. Benar, bahwa kerumunan menjadi faktor utama penyebaran Covid-19. Karena itu, harus dicegah dan diwaspadai. Sepakat!

Semua kegiatan yang menyebabkan kerumunan harus diantisipasi. Ketegasan soal kerumunan akan berdampak terhadap tingkat penyebaran Covid-19. Gagal mencegah kerumunan, maka pandemi akan semakin panjang waktunya. Ini juga akan berdampak tidak saja kesehatan, tapi juga ekonomi. Saat ini, pertumbuhan ekonomi masih terkonstraksi yaitu minus 0,74 persen. Tiga quartal berturut-turut pertumbuhan ekononi minus. Inilah yang disebut resesi.

Karena alasan ini, pemerintah pusat dan daerah membuat aturan dan kebijakan sebagai upaya mencegah terjadinya kerumunan. Salah satunya terkait aturan mudik. Mulai dari pelarangan hingga pengetatan. Lepas dari pro-kontra dan dinamika yang tarkait dengan mudik, kita semua berharap pandemi segera berakhir.

Tidak hanya pusat, sejumlah pemerintahan daerah juga berupaya keras mengendalikan penyebaran Covid-19. Diantaranya adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI. Sebagaimana kita tahu, Jakarta kota yang padat penduduk. Mobilitas, lintasan dan lalu lalang manusia yang berasal dari berbagai kota dan desa sangat tinggi. Maklum, ibu kota. Tempat rakyat dari berbagai daerah berkerumun. 60-70 persen kekayaan Indonesia berputar di Jakarta. Wajar jika rakyat berbondong-bondong untuk datang.

Diantara kebijakan Anies adalah mengendalikan kerumunan di Tempat Pemakaman Umum (TPU). Bukan melarang, tepatnya mengendalikan. Gubernur DKI ini mengkalkulasi, ziarah pada waktu yang bersamaan akan sangat berpotensi mengakibatkan penumpukan orang. Secara umum, setiap makam diziarahi 5-10 orang. Bisa dibayangkan, berapa jumlah peziarah pada hari lebaran itu. Untuk menghindari terjadinya kerumunan, ziarah baru dibuka mulai hari minggu. Ini dibuat semata-mata untuk menghindari manusia menumpuk di satu tempat pada waktu yang sama.

Begitu juga dengan wisata Ancol. Ada yang buru-buru menyimpulkan: "TPU ditutup, Ancol dibuka. Betul-betul kapitalis!".

Pemprov DKI membuat kebijakan bahwa Ancol hanya dibuka untuk maksimal 30 persen pengunjung. Kapasitas Ancol itu sebenarnya muat untuk 192 ribu pengunjung. Jadi, 30 persennya kurang lebih 64 ribu. Jumat lalu, hari kedua lebaran, Ancol hanya dikunjungi 39 ribu. Jauh dibawah 30 persen. Jadi, kalau ada yang bilang pengunjung Ancol tembus angka di atas 30 persen dan menuduh Pemprov DKI tidak konsisten dengan 30 persen, perlu cek data ini. Lihat data, baru bicara. Itu yang benar. Bukan bicara dulu baru cari data. Ini bisa menyesatkan.

Baca data, baru bicara harus menjadi tradisi kita dalam berliterasi dan berkomunikasi, sehingga tidak tersesat dalam kesalahan dan terjebak dalam hoaks.

Bagaimana cara mengendalikan angka 30 persen? Managemen Ancol hanya menjual tiket melalui online. Jadi, terkendali di angka 30 persen. Dan ini pun hanya untuk yang ber-KTP Jakarta. Artinya, pengunjung harus warga Jakarta.

Hanya saja, pengunjung sempat menumpuk di pantai. Dari situlah lalu ada kebijakan untuk melarang mandi di pantai. Larangan ini semata-mata untuk mengendalikan kerumunan. Jangan lalu bilang: pimpinan Jakarta sudah tidak sehat karena melarang warganya berenang. Bukankah berenang itu olahraga yang menyehatkan, kenapa dilarang. Salah lagi! Repot kalau berurusan dengan orang yang fokusnya hanya nyari kesalahan.

Bisa dipastikan, kapasitas 192 ribu diisi 39 ribu pengunjung pasti Ancol longgar. Tinggal bagaimana managemen Ancol mengontrol agar 39 ribu pengunjung tidak menumpuk di satu tempat dalam waktu bersamaan. Hanya itu saja.

Dibandingkan dengan tahun 2019, pengunjung Ancol di hari kedua lebaran mencapai 90 ribu. Lebih dari dua kali lipat tahun ini. Itu tahun 2019, dua tahun lalu.

Jika pekan lebaran ini jagat medsos diramaikan dengan isu kerumunan, ini hanya semata-mata karena kurang informasi soal data yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai object politik. Bahkan ada yang menghubungkan "pengunjung Ancol" dengan elektabilitas Anies. Ini tentu terlalu jauh dan sangat politis.

Saatnya kita bermedsos secara cerdas dengan pertama, selalu cek data. Kedua, melakukan analisis logis untuk mengukur setiap informasi. Ketiga, tidak mudah percaya, apalagi ikut share sebelum meyakini validitasnya.

Jika tiga langkah ini kita lakukan, maka berbagai isu, termasuk kerumunan, tidak akan mudah memprovokasi dan menyesatkan kita.

Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.(tr/bh/sya)




 
   Berita Terkait > Virus Corona
 
  Pemerintah Perlu Prioritaskan Keselamatan dan Kesehatan Rakyat terkait Kedatangan Turis China
  Pemerintah Cabut Kebijakan PPKM di Penghujung Tahun 2022
  Indonesia Tidak Terapkan Syarat Khusus terhadap Pelancong dari China
  Temuan BPK Soal Kejanggalan Proses Vaksinasi Jangan Dianggap Angin Lalu
  Pemerintah Umumkan Kebijakan Bebas Masker di Ruang atau Area Publik Ini
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2