JAKARTA, Berita HUKUM - Nurul Izzah putri pertama oposisi Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim dan putri ke-5 nya Nurul Iman bersama beberapa orang aktivis kemanusiaan dan Setara Institute melangsungkan jumpa pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), yang berlokasi di Jl. Mendut, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (4/4).
Mereka meminta dukungan perjuangan demokrasi negara Jiran kepada aktivis Indonesia untuk pembebasan Anwar Ibrahim dan perjuangan demokrasi Malaysia. "Kami hadir di Indonesia untuk bertemu berbagai pihak menyampaikan perkembangan terkait isu papa kami yang dipenjara 10 Februari lalu (54 hari). Kami sekeluarga melancarkan inisiatif kebebasan. Bahwa perjuangan kami untuk kebebasan rakyat secara total," ucap Nurul Iman putri ke-5 Anwar Ibrahim.
Dua putri Anwar Ibrahim, Nurul Izzah dan Nurul Iman juga ditemani Tian Chua yang merupakan rekannya di parlemen memaparkan pula perihal tentang penahanan terhadap ratusan aktivis Malaysia, yang diungkap saat menggelar jumpa pers di KontraS, Jakarta, Sabtu (4/4). Adapun keinginan ke 2 putri dari Anwar Ibrahim mantan wakil perdana menteri Malaysia tersebut datang ke Jakarta untuk menggalang petisi 1.000.000 (satu juta) tanda tangan Bebaskan Anwar Ibrahim nantinya, dan juga untuk bertemu para tokoh politik, aktivis, media yang meminta dukungan kebebasan demokrasi lewat gerakan 'March 2 Freedom'.
“Posisi Indonesia tidak dapat dinafikan sebagai negara Demokrasi terbesar di ASEAN, namun sekarang dapat kamu gambarkan, mahasiswa, kartunis, aktivis, hampir 200 orang ditangkap di negeri kami Malaysia, Hal ini disiasat semenjak pemilu," ujar Nurul Izzah, dihadapan para jurnalis, aktivis HAM, saat di Gedung KontraS, Jakarta, Sabtu (4/4).
Pemerintah Malaysia dianggap telah melakukan tindakan penangkapan yang sewenang-wenang terhadap ratusan pejuang reformis Malaysia sejak 2013. Mereka diantaranya mahasiswa, aktivis dan anggota parlemen ditangkap dengan tuduhan menghasut.
Pasal penghasutan / akta hasutan / sedicition act 1948 di bawah pasal 4 ayat 1 untuk menangkap dan memperkarakan orang-orang, terutama aktivis HAM, politisi oposisi, anggota parlemen, pengacara, akademisi, serta yang terbaru adalah media Kritis (Editor The Malaysian Insider), Lionel Morais yang ditangkap pada tanggal 31 Maret 2015 lalu. Sebanyak 120 orang-pun pernah menjadi subjek pemanggilan Polisi, karena dianggap melanggar pasal penghasutan hanya dalam waktu beberapa bulan terakhir ini.
Seperti kita ketahui juga, Nurul Izzah, sendiri pada Senin (16/3) lalu juga ditangkap Polisi Malaysia atas tuduhan melakukan penghasutan. Penangkapan itu, terkait dengan pernyataannya di depan parlemen yang mengkritik pengadilan. Nurul Izzah mempertanyakan independensi pengadilan karena menghukum penjara ayahnya; Anwar Ibrahim dalam kasus sodomi atas mantan asistennya yang dituduh dilakukan tidak lama setelah pemilihan umum pada 2008.
Isi Pasal 4 Sediction Act 1948 mengenai pelanggaran berisi :
1. Seseorang yang melakukan atau mencoba untuk melakukan, atau membuat persiapan yang harus dilakukan, atau bersekongkol untuk melakukan, atau setiap tindakan yang memiliki atau yang akan , jika dilakukan, memiliki kecenderungan penghasutan.
2. Mengucapkan kata-kata hasutan.
3. Mencetak, menerbitkan , menjual , menawarkan untuk menjual,
mendistribusikan atau mereproduksi publikasi yang berisi penghasutan ,
atau
4. Menyediakan publikasi penghasutan.
Catatan: Setiap pelanggaran yang dilakukan akan dikenakan hukuman hingga 3 tahun penjara, dan denda RM 3000 dan paling banyak RM 5000.
Pasal sediciton act 1948 ini sebenarnya merupakan hukum peninggalan era kolonial (kebijakan Commonwealth) untuk memberantas paham komunisme dan menghindari kritik. Pemerintah Malaysia menggunakan Sediction Act untuk menginvestigasi, mendakwa bahkan memenjarakan orang-orang yang memberikan kritik maupun opini yang berbeda terhadap kebijakan pemerintah.
"Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Malaysia, anggota parlemen ditangkap karena pidato di parlemen. Saya pikir ini bertentangan dengan masalah dasar kebebasan berekspresi," tegas Izzah.
Malaysia sebagai Ketua ASEAN pada 2015 tidak menampakan kemajuan demokrasi dan indikasinya akan menjadi contoh yang buruk nantinya dalam penegakan hukum dan HAM dalam politik domestik. Sikap represif pemerintah Malaysia akan mempengaruhi dalam political instability di kawasan dalam hal demokrasi, Sementara itu AICHR sebagai lembaga HAM ASEAN hingga saat ini belum menunjukan repon apapun dalam hal ini.(bh/mnd) |