MESIR, Berita HUKUM - Sedikitnya 30 orang tewas di Port Said, Mesir, dalam aksi unjuk rasa yang diwarnai kekerasan, Sabtu (26/1).
Unjuk rasa tersebut dipicu oleh vonis hukuman mati atas 21 orang sehubungan dengan kerusuhan dalam pertandingan sepakbola, Februari 2012.
Para pendukung terpidana berupaya untuk menyerbu penjara tempat mereka ditahan dan menyerang kantor Polisi.
Sebanyak 21 orang dijatuhi hukuman mati sehubungan dengan kerusuhan yang menewaskan 74 orang dalam pertandingan sepakbola di Port Said, tahun lalu.
Sumber-sumber rumah sakit menyebutkan korban yang tewas termasuk dua orang Polisi dan dua pemain sepak bola.
Tentara Mesir sudah dikerahkan untuk mengamankan keadaan di Port Said.
Sementara lebih dari 300 orang menderita cedera akibat kekerasan ini.
Seruang dialog
Aksi kekerasan ini bersamaan dengan peringatan dua tahun maraknya unjuk rasa yang berhasil menjatuhkan Presiden Husni Mubarak.
Dewan Pertahanan Mesir yang dipimpin Presiden Mohammed Morsi mengecam kerkerasan tersebut dan menyerukan dialog.
Presiden Morsi juga mengatakan sedang mempertimbangkan pemberlakuan jam malam di kawasan-kawasan yang terkena dampak kerusuhan.
Hari Jumat (25/01), ribuan orang turun ke jalan di berbagai tempat untuk berunjuk rasa menentang kepemimpinan Morsi yang dianggap mengkhianati revolusi.
Unjuk rasa itu juga diwarnai dengan bentrokan antara polisi dengan pengunjuk rasa yang menewaskan sedikitnya korban jiwa enam orang di Suez dan satu orang di Ismailia.
Sejumlah kritik dilayangkan kepada Morsi yang disebut mengkhianati revolusi yang menggulingkan mantan Presiden Hosni Mubarak.
Presiden menolak klaim oposisi yang menyebutkan berlaku tidak adil.
Malahan, dia meminta agar dilakukan dialog nasional, dan pada Sabtu (26/1) Morsi mendesak agar para penentangnya menghentikan kekerasan.
Dalam pesan yang disampaikan melalui Twitter, dia meminta agar masyarakat Mesir "untuk setia kepada nilai-nilai revolusi (dan) mengekspresikan pendapat dengan bebas dan damai".
Di Suez, pasukan tentara yang dilengkapi dengan kendaraan lapis baja berjaga di depan gedung-gedung pemerintah.
"kami telah meminta pasukan tentara untuk mengirimkan personil di lapangan sampai kita melalui masa sulit ini," kata kepala keamanan negara di Suez, Adel Refaat, kepada televisi pemerintah.
Di pusat kota Kairo, bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi dilaporkan terjadi kembali pada Sabtu (26/1).
Ekonomi Memburuk
Sejumlah pengunjuk rasa masih berada di ibukota, dan mereka akan kembali ke rumah jika Morsi mundur dari jabatannya.
Jumat (25/1) lalu, dua tahun setelah penggulingan Mubarak, puluhan ribu orang kembali menyuarakan perbedaannya dengan Morsi dan pendukungnya di Ikhwanul Muslimin.
Lebih dari 450 orang terluka, menurut menteri kesehatan, dalam kerusuhan yang terjadi di 12 dari 27 provinsi di Mesir.
Tak diketahui secara pasti, bagaimana korban tewas terjadi di Suez.
Bentrokan terjadi di Alexandria dan Port Said.
Di Ismailia, membakar kantor pusat Partai Kebebasan dan Keadilan, yang merupakan kepanjangan tangan Ikhwanul Muslimin.
Oposisi liberal menuduh Morsi menjadi otokratik dan juga menyebabkan kondisi ekonomi memburuk.
Salah seorang pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir Kairo, Momen Asour, mengatakan dia meminta agar pemerintahan Presiden Morsi mundur. "Kami tidak melihat apapun, tidak adanya kebebasan, tidak ada keadilan sosial, atau upaya untuk mengatasi pengangguran, atau investasi," kata dia.
"Kebalikannya, ekonomi memburuk," tambahnya.
Pengunjuk rasa yang lain, Hamoud Rashid, mengatakan protes ini merupakan "reaksi alami kepada negara yang menjadi lebih buruk dibandingkan ketika masa Mubarak," ujarnya.
"Mereka telah mencuri revolusi dari para revolusioner, dan kami disini akan mengambil kembali revolusi," kata dia.(dbs/bhc/opn) |