JAKARTA, Berita HUKUM - Pemilihan Presiden dan wakil Presiden (Pilpres) tinggal sehari. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilpres harus netral dan transparan. Kecurangan yang terjadi saat pemilihan legislatif (pileg) lalu jangan terulang lagi.
KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus bisa meyakinkan seluruh kontestan dan masyarakat bahwa, pelaksanan Pilpres 2014 berjalan jujur, adil dan transparan sebagaimana diamanahkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Namun demikian, diharapkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi KPU dan Bawaslu sebelum pencoblosan, saat pencoblosan dan setelah pencoblosan.
Kecurangan Pilpres sangat potensial terjadi. Mari kita pastikan Pilpres berjalan secara demokratis. Demikian diungkapkan Ketua Umum Forum Akademisi IT (FAIT), Hotland Sitorus di Jakarta, Selasa (8/7).
“Mari kita awasi penyelenggara pemilu di setiap tingkatan, mulai dari TPS, PPS di kelurahan/desa, PPK di kecamatan hingga KPU pusat. Perlu diingat, kecurangan yang paling potensial terjadi justru di tingkatan TPS, PPS dan PPK.” Ungkap Hotland Sitorus, yang juga Akademisi di Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat.
Sebagaimana hasil riset FAIT terhadap hasil Pileg (9/4) lalu, ditemukan kecurangan berupa pemindahan suara baik antar Caleg dalam satu Partai maupun antar Caleg antar partai. Selain itu, ditemukan pula C1 yang direkayasa dan inilah yang digunakan sebagai acuan rekapitulasi penghitungan suara di PPS.
“Mengawasi TPS itu penting, tetapi mengawasi apa yg tidak kelihatan adalah lebih penting, sebab di sanalah peluang terbesar kecurangan dilakukan.
Yang tidak kelihatan yang dimaksudkan adalah bagian dari proses Pilpres di mana peranan para saksi dibatasi atau tidak ada.” Lanjut Hotland Sitorus.
Hotland Sitorus membeberkan bahwa, setidaknya ada 2 (dua) bagian yang tidak kelihatan berpotensi untuk direkayasa yaitu:
1. Proses transmisi (pemindahan) hasil perhitungan dari TPS ke PPS. Sertifikat C1 sangat potensial direkayasa. Modus rekayasa adalah memanfaatkan suara golput dan Memindahkan suara antar kandidat capres;
2. Perangkat bantu rekapitulasi penghitungan suara berupa formula excel. Formula ini dapat direkayasa dengan tujuan mengatur distribusi suara.
Masih lanjut Hotland Sitorus, “Selain penyelenggara pemilu, saksi-saksi di pilpres juga sangat menentukan kualitas penyelenggaraan pilpres itu sendiri.’
Berikut langkah-langkah antisipatif yang dapat dilakukan saksi-saksi saat mengawasi pilpres;
1. Periksa C1 yg digunakan di TPS, pastikan keasliannya dengan hologram yg menyatu dengan lembar C1, bukan hologram tempelan;
2. Saksi di TPS harus menandatangani C1 dan menerima foto kopiannya;
3. Saksi di PPS harus memeriksa C1 yang dimiliki PPS sebelum melakukan rekapitulasi, C1 harus berhologram asli, bukan hologram tempelan, atau mencocokkan tandatangan saksi dengan C1 foto kopian yang dimiliki;
4. Saksi di PPS harus mengikuti rekapitulasi di PPS dengan cermat, periksa penghitungan perolehan suara kedua kandidat, suara tidak sah dan suara golput dan mencocokkannya dengan data dari TPS;
5. Saksi di PPS wajib mendapatkan soft copy excel yang digunakan sebagai perangkat rekapitulasi penghitungan suara di PPS.
6. Saksi di PPK dapat mengikuti langkah-langkah yang dilakukan oleh saksi di PPS.
Sementara itu, Sekjen DPP FAIT, Janner Simarmata mengatakan, “FAIT sangat peduli agar pelaksanaan Pilpres berjalan dengan jujur, adil dan transparan seperti diamanatkan di dalam UUD 1945.”
“Kami akan tetap fokus mengamati penggunaan C1 di TPS dan penggunaan perangkat IT rekapitulasi penghitungan perolehan suara yang digunakan. Di sinilah potensi kecurangan tersangat besar dan masuk akal.” Lanjut Janner Simarmata.
“Oleh karena itu, KPU harus netral. Apabila terjadi kecurangan, FAIT siap membantu pihak yang akan mempidanakan penyelenggara pemilu yang curang dalam penyelenggara pilpres nanti.”, Tandas Janner Simarmata.(fait/bhc/sya)
|