Oleh: Zaqiu Rahman, SH., MH
SALAH SATU tugas Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, yang diantara diwujudkan melalui usaha-usaha untuk menyediakan rumah yang layak dan terjangkau bagi masyarakat. Akan tetapi kemampuan keuangan Negara sangatlah terbatas, sehingga pemerintah perlu membuat terobosan sekaligus kebijakan untuk dapat merumahkan seluruh warga Negara.
Hingga saat ini, kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal (angka backlog perumahan) berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, masih terdapat backlog kepenghunian sebesar 13,5 juta unit rumah, dan pada tahun 2015 naik menjadi 15 juta unit rumah.
Angka backlog yang tinggi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari rendahnya pendapatan masyarakat, fasilitas kredit kepemilikan rumah yang sulit untuk diakses terutama oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR), tingginya bunga kredit kepemilikan rumah karena berasal dari sumber-sumber dana jangka pendek dengan bunga yang tinggi, harga rumah yang terus melambung akibat tingginya minat dan permintaan, sehingga semakin tidak terjangkau akibat pengelolaan perumahan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, dan masih banyak lagi penyebab yang lain.
Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjawab permasalahan di atas, pada 23 Februari 2016 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (RUU Tapera) menjadi UU. UU Tapera merupakan amanat dari Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP), dimana dalam pasal tersebut diamanatkan secara langsung bahwa ketentuan mengenai tabungan perumahan diatur tersendiri dengan undang-undang.
UU ini diharapkan menjadi dasar hukum yang kuat bagi penyelenggaraan Tapera, karena tidak dapat dipungkiri bahwa hak untuk dapat menghuni rumah yang layak merupakan salah satu dari sistem jaminan sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah yang tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). UU SJSN hanya mengatur jaminan sosial bagi jaminan kesehatan; kecelakaan kerja; hari tua; pensiun; dan kematian (lihat Pasal 18 UU SJSN).
Peluang dan Tantangan
Dengan diberlakukannya UU Tapera, hal ini membuka peluang yang lebih besar bagi pembangunan disektor perumahan rakyat. Diharapakan akan tersedia sumber dana murah jangka panjang yang dapat dipergunakan untuk melakukan pembiayaan disektor pembangunan perumahan. Dana yang dapat dikumpulkan dari Tapera diperkirakan sebesar 1.265 Triliun.
Hal ini diprediksi mampu untuk digunakan membiayai pembangunan rumah sebesar 1,38 juta unit rumah sederhana dengan asumsi harga rumah 115 juta per unitnya (presentasi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada saat pembahasan RUU Tapera, 2016). Belum lagi perkembangan di sektor properti yang diprediksi akan menggeliat, karena permintaan akan rumah akan semakin meningkat.
Disisi lain, penerapan UU Tapera ini akan menimbulkan beberapa tantangan di dalam penerapannya, diantaranya yaitu pertama: gugatan dari para pengusaha, keberlakuan UU Tapera menjadi polemik baru, terutama dari kalangan pengusaha. Mereka berpendapat bahwa keberlakuan UU Tapera akan menjadi beban baru bagi pengusaha, karena di UU Tapera jelas diatur bahwa pemberi kerja wajib berkontribusi dalam jumlah tertentu di dalam iuran Tapera bagi setiap pekerjaanya (lihat Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), dan Pasal 64 huruf c UU Tapera), disisi lain pengusaha merasa keberatan karena saat ini sudah membayar beberapa iuran terkait jaminan sosial, yaitu jaminan kesehatan; kecelakaan kerja; hari tua; pensiun; dan kematian bagi pekerjanya.
Sehingga keberadaan UU Tapera yang mewajibkan pemberi kerja untuk share dalam jumlah tertentu untuk iuran Tapera akan menambah beban baru bagi mereka. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bahkan berencana untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait keberlakuan pasal-pasal tertentu di dalam UU Tapera.
Selain itu pengusaha berkilah bahwa kebijakan pembiayaan perumahan yang diatur UU Tapera berpotensi tumpang tindih dengan kebijakan BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 37A Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pemerintah mengatur pengembangan dana sosial Jaminan Hari Tua (JHT) pada instrumen investasi dapat digunakan untuk mendukung program penyediaan perumahan bagi peserta maksimal 30% (tiga puluh persen) dari total dana sosial JHT. Sinkronisasi peraturan mutlak perlu dilakukan pemerintah bukan hanya terkait penyediaan perumahan namun juga terkait pengaturan sistem jaminan sosial nasional.
Terhadap keberatan pengusaha yang menganggap bahwa keberlakuan UU Tapera memberatkan, perlu disampaikan beberapa hal, pertama: sampai saat ini Pemerintah belum mengeluarkan PP terkait jumlah besaran iuran Tapera, baik yang akan dibebankan kepada setiap peserta Tapera atau kepada pemberi kerja. Kedua; dasar hukum pengaturan mengenai JHT, program penyediaan dana bagi perumahan hanya merupakan program/klausula tambahan diluar yang diatur dalam UU SJSN, pengaturannya pun hanya diatur di dalam PP.
Disisi lain, pengaturan mengenai Tapera selain diatur di UU Tapera (yang kedudukannnya dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan lebih tinggi dibandingkan PP) hal ini juga merupakan pengaturan khusus (lex specialist) terkait pengerahan dana dibidang tabungan perumahan, serta ketiga, apabila UU Tapera telah efektif berlaku maka kegiatan-kegiatan terkait pengerahan dana dibidang perumahan harus diintegrasikan di dalam pelaksanaan UU tapera, sehingga tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih dan tidak memberatkan pengusaha (pemberi kerja).
Untuk merespon hal ini, Pemerintah harus segera melakukan penyelarasan (sinkronisasi) peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan Tapera, yaitu mensinkronisasikan segala peraturan perundang-undangan pelaksana yang terkait UU SJSN khususnya mengenai Tapera, agar tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih dengan UU Tapera. Pemerintah harus menegaskan bahwa UU Tapera merupakan dasar hukum tertinggi dan khusus bagi penyelengaraan Tapera.
Kedua, asas Tapera, salah satu asas dalam penyelenggaraan Tapera ini adalah "asas kegotongroyongan" (lihat Pasal 2 huruf a UU Tapera), artinya bersama-sama dan saling menolong antar peserta dalam menyediakan dana murah jangka panjang dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi peserta (lihat Penjelasan Pasal 2 huruf a UU Tapera).
Asas ini diterjemahkan di dalam UU Tapera bahwa setiap warga Negara maupun warga Negara asing yang memenuhi persyaratan wajib menjadi peserta Tapera (Pasal 7 ayat (1) UU tapera), tapi disisi lain tidak semua peserta Tapera dapat memanfaat secara langsung dana Tapera pada masa perode kepesertaanya (lihat Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (2), dan Pasal 27 ayat (1) UU Tapera). Inilah yang dimaksud dengan prinsip kegotongroyongan, artinya peserta yang dianggap mampu, dalam arti telah memiliki rumah tetap diwajibkan menjadi peserta Tapera dengan membayar iuran untuk membantu peserta lain yang tidak memiliki rumah. Prinsip inilah yang di dalam implementasi UU Tapera diprediksi akan mendapat banyak tantangan dari peserta khususnya peserta yang telah memiliki rumah, karena mereka berpendapat program Tapera ini tidak membawa manfaat langsung bagi mereka, disisi lain justru menambah beban baru berupa pemotongan gaji atau kewajiban menyetorkan iuran Tapera setiap bulannya.
Padahal perlu diuraikan bahwa prinsip kegotongroyongan inilah yang merupakan roh dari UU Tapera, karena dana jangka murah jangka panjang untuk pembiayaan pembangunan perumahan khususnya bagi MBR akan lebih mudah terkumpul jika dikerahkan dari seluruh elemen masyarakat yang memenuhi persyaratan.
Dengan kontribusi setiap peserta Tapera yang memenuhi syarat, diharapkan akumulasi pengerahan dana Tapera akan lebih signifikan untuk membiayai program pembangunan perumahan bagi MBR. Adapun bagi peserta yang tidak dapat menerima manfaat langsung dari Tapera, selain ia telah berkontribusi membantu warga Negara lain yang membutuhkan, ia juga dapat menerima manfaat berupa pengembalian simpanan dan pemupukannya (lihat Pasal 14 ayat (2) UU Tapera) pada saat pensiun, usia 58 tahun bagi pekerja mandiri, atau meninggal (lihat Pasal 14 ayat (1) UU Tapera). Jadi Tapera berfungsi sebagai tabungan pensiun bagi peserta yang tidak memenuhi persyaratan untuk dapat menerima manfaat langsung dari kepersertaan Tapera.
Pemerintah harus memberikan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat khususnya yang menjadi peserta Tapera, bahwa program ini wajib diikuiti oleh setiap warga Negara yang memenuhi persyaratan, akan tetapi hanya peserta tertentu yang bisa menerima manfaat langsung, karena asas yang dikedepankan dalam UU ini adalah "prinsip kegotongroyongan", yaitu masyarakat yang mampu atau telah memiliki rumah bergotong-royong untuk membantu saudara-saudaranya untuk dapat memiliki rumah. Disisi lain, peserta yang tidak memenuhi syarat untk melakukan pemanfaatan dana Tapera dapat menikmati manfaat berupa akumulasi dana Tapera, share dari pemberi kerja, beserta pemupukannya.
Ketiga, teknis pemungutan iuran bagi pekerja mandiri, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi Peserta (lihat Pasal 7 ayat (1) UU Tapera). Bagi pekerja, iuran Tapera dipungut dan disetorkan oleh pemberi kerja (lihat Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Tapera), sedangkan bagi pekerja mandiri, selain ia harus mendaftarkan diri ke badan penyelenggara Tapera (BP Tapera) untuk menjadi peserta Tapera, yang bersangkutan juga wajib menyetor sendiri simpanan yang menjadi kewajibannya ke dalam rekening peserta yang dikelola oleh Bank Kustodian (Pasal 18 ayat (3) UU Tapera).
Ketentuan kewajiban mendaftar dan menyetor bagi pekerja mandiri inilah yang diprediksi akan menimbulkan permasalahan hukum tersendiri khsusnya bagi pekerja mandiri yang telah memiliki rumah, karena selain masalah instrument untuk memaksa merek untuk mendaftar dan menyetor juga menyangkut teknis pengerahan dana serta bagaimana menghitung besaran iuran dana Tapera yang harus disetor setiap bulannya karena penghasilannya yang tidak tetap (berubah-ubah tiap bulannya), disisi lain kewajiban menjadi peserta Tapera merupakan hal yang wajib bagi setiap peserta yang memenuhi persyaratan. Selain itu, dapat menimbulkan diskriminasi, karena pekerja memperoleh share dari pemberi kerja, sementra bagi pekerja mandiri apa juga perlu memperoleh share dari Negara ? Hal inilah yang diprediksi akan menimbulkan permasalahan hukum baru di dalam implementasi UU Tapera.
Hal ini akan berbeda dengan peserta yang pekerja, selain jumlah penghasilannya tetap tiap bulan, mekanisme pengerahannya pun jauh lebih sederhana karena langsung dipotong oleh pemberi kerja dalam jumlah tertentu setiap bulannya.
Untuk itu, pemerintah harus memikirkan dan segara membentuk peraturan yang lebih teknis yang dapat mengantisipasi sekaligus menjadi jawaban bagi kesulitan dalam melakukan pengerahan dana Tapera khususnya terhadap pekerja mandiri. Disisi lain, pemerintah juga harus segera membentuk BP Tapera, selain karena ini merupakan amanat dari UU Tapera, hal ini juga akan menjadi penentu dapat dilaksanakan atau tidaknya program Tapera. Sehingga diharapkan BP Tapera dapat segera melakukan oprasioanal dan melakukan pelayanan penyelenggaraan Tapera kepada peserta Tapera
Keempat, besaran iuran Tapera, ketentuan mengenai besaran simpanan Tapera diatur dalam PP (lihat Pasal 17 ayat (2) UU Tapera), saat ini besaran iuran Tapera merupakan hal yang paling krusial dan menentukan sukses atau tidaknya penyelenggaraan Tapera. Oleh karena itu, Pemerintah harus memformulasikan besaran iuran Tapera yang paling optimal, dalam arti jumlah besaran iuran Tapera ini jangan sampai memberatkan peserta maupun pemberi kerja, disisi lain besaran iruan ini akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya program Tapera ini. Semakin besar iuran Tapera maka akan semakin besar pula kemungkinan untuk berhasilnya program Tapera ini. Disisi lain, semakin kecil besaran iuran Tapera, semakin kecil pula peluang atau tingkat keberhasilan program Tapera ini.
Pemerintah harus segera merumuskan besaran prosentase iuran bagi peserta dan pemberi kerja yang nilainya paling optimal atau merupakan jalan tengah dari dua kepentingan dimaksud. Dalam arti tidak memberatkan peserta maupun pemberi kerja, tetapi disisi lain nilainya juga cukup signifikan agar besaran akumulasi dan pemupukannya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk membangun rumah bagi peserta MBR, dengan melibatkan peran serta berbagai pihak yang terkait, khususnya terhadap pihak-pihak yang selama ini tidak setuju dengan keberlakuan UU Tapera.
Kelima, harga rumah yang selalu melambung tiap tahunnya, harga rumah yang ada saat ini selalu meningkat secara signifikan, hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah pembangunan bidang perumahan yang masih bertumpu pelaksanaanya oleh sektor swasta dan pasar bebas (komersial), sementara disisi lain permintaan dan kebutuhan akan perumahan selalu meningkat. Selain itu, meningkatnya harga tanah setiap saat yang cukup signifikan, karena tanah tidak jarang dikuasai oleh pengembang-pengembang besar, sehingga mereka leluasa untuk menentukan harga tanah bagi perumahan. Disisi lain, komponen harga tanah merupakan komponen yang paling menentukan dalam penentuan harga rumah, serta laju inflasi yang memungkinkan harga bahan-bahan bangunan naik signifikan tiap tahunnya.
Untuk dapat menekan laju kenaikan harga rumah, pemerintah harus secara aktif melakukan intervensi, dalam arti pemerintah tidak menyerahkan seluruhnya penyelenggaraan pembangunan perumahan kepada sektor swasta, tetapi pemerintah aktif juga melakukan pembangunan perumahan khususnya perumahan bagi MBR.
Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan misalnya dengan memberikan insentif berupa subsidi KPR, bahan-bahan bangunan, maupun dalam pembangunan infrastruktur pendukung. Pemerintah juga harus membentuk semacam bank tanah (land banking), sehingga pemerintah harus menguasai tanah dalam jumlah luasan tertentu yang dikhususkan bagi pembangunan rumah bagi MBR, sehingga harga tanah dapat dikendalikan dan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah juga harus membentuk badan khusus yang diserahi tugas untuk membangun rumah bagi MBR, sehingga harga rumah dapat ditekan sedemikian rupa, yang pada akhirnya dapat mensukseskan program Tapera.
Implementasi UU Di Masa yang Akan Datang
UU Tapera sejatinya dibentuk oleh pemerintah dan DPR sebagai salah satu usaha Negara untuk merumahkan masyarakat terutama MBR ditengah keterbatasan kemampuan keuangan Negara. Disisi lain, apabila UU Tapera ini tidak mampu diimplementasikan dengan baik, ini akan menjadi batu sandungan politik yang kuat bagi pemerintah, karena disisi lain Pemerintah telah mengerahkan sejumlah dana dari masyarakat tapi ternyata tujuan dari UU ini tidak tercapai.
Sehingga agar UU Tapera ini tidak menjadi boomerang politik bagi pemerintah di masa yang akan datang, pemerintah harus berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menyelenggarakan program Tapera ini agar tujuannya yaitu merumahkan MBR dapat tercapai. Selain itu, sukses tidaknya program Tapera tidak hanya semata bergantung pada pelaksanan UU Tapera, tetapi juga perlu didukung oleh pelaksanaan UU PKP, karena UU Tapera hanya mengatur mengenai masalah pengerahan dana Tapera, adapun masalah pembangunan dan penyediaan perumahan diatur oleh UU PKP. Untuk itulah kedua UU ini harus bersinergi untuk mewujudkan salah satu tujuan Negara, yaitu merumahkan rakyatnya.
Penulis adalah tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya (Legislative Drafter), Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI.(zr/bh/sya) |