JAKARTA, Berita HUKUM - Presiden Joko Widodo telah resmi melantik salah satu tim pemenangannya saat Pilpres 2014, Luhut Binsar Panjaitan, menjadi Kepala Staf Kepresidenan pada hari Rabu, (31/12). Janji Jokowi mau bentuk kabinet ‘kerempeng’ alias ramping sudah terbukti gagal, kini Jokowi malah tambah beban anggaran negara dengan bentuk staf kepresidenan setingkat menteri. Inikah yang di namakan penghematan anggaran negara itu?. Namun, pelantikan ini menuai respon negatif dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
"Komentar saya singkat saja. Mestinya Kepala Staf Kepresidenan itu tidak perlu. Mensesneg itulah Kepala Staf Kepresidenan," ujarnya saat dihubungi wartawan, Rabu (31/12).
Dijelaskan Yusril bahwa keberadaan dua sekretariat, yaitu Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet, saja sudah berpotensi saling tumpang tindih tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi). Potensi tabrakan dua lembaga itu bahkan sudah dirasa sejak zaman Orde Baru.
"Setneg dengan Setkab saja sudah potensial tabrakan. Itu terjadi sejak zaman Pak Harto sampai SBY. Sejak zaman Sudharmono sama Moerdiono sampai zaman saya dengan Sudi Silalahi," sambung mantan Mensesneg itu.
Artinya, dengan keberadaan Kepala Staf Kepresidenan maka potensi tabrakan menjadi segitiga, yaitu antara Setneg, Setkab dan Kepala Staf Kepresidenan.
"Bagi saya Presiden sebenarnya hanya perlu Setneg yang kuat yang tugasnya memback up presiden. Makin sederhana organisasinya makin bagus," tandasnya.(ian/rmol/itrk/bhc/sya) |