JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berharap polisi menggunakan logika hukum serta mempertimbangkan logika umum yang berkembang di masyarakat (common sense). Hal ini terutama dalam menangani kasus dugaan pemalsuan surat putusan MK.
Penekanan ini, menurut dia, karena penegak hukum kerap menafikan logika umum tersebut. "Hukum itu, selain pasal-pasal formal, juga ada common sense. Polisi tidak bisa mengesampingkan itu," ujar Mahfud, Kamis (1/9).
Diharapkan, polisi menggunakan logika umum di masyarakat untuk menuntaskan kasus tersebut. "Common sense masyarakat itu akan selalu memberi jalan hukum untuk meluruskan kesalahan," jelasnya.
Sebelumnya, Kabareskrim Polri Komjen Pol. Sutarman menyatakan, penyidik kesulitan untuk menyeret mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati sebagai tersangka. Pasalnya, polisi masih belum menemukan alat bukti yang kuat. "Kalau dia (Andi Nurpati) sudah mengakui, tentu sudah kami tahan," terangnya.
Menanggapi pernyataan Sutarman itu, Mahfud mengimbau polisi tidak harus menunggu pengakuan dari Andi untuk dapat menetapkannya sebagai tersangka. Sebab, dalam hukum pidana, pengakuan bukan merupakan bukti yang menentukan. "Kalau menunggu pelaku pidana mengaku, tidak akan ada orang dihukum. Makanya dalam hukum pidana ada kalanya pengakuan itu dinafikan," jelas ahli tata negara itu.
Meskipun polisi telah menetapkan dua mantan pegawai MK sebagai tersangka, Mahfud mengaku, tidak mempunyai kepentingan selain tegaknya hukum dan konstitusi. Jika dalam pengusutan kasus ini polisi menyalahgunakan kewenangannya, ia yakin masyarakat tidak akan tinggal diam. "Tapi kita lihat saja perkembangannya. Rasanya, saya dan Kapolri sudah sehati bahwa hukum harus ditegakkan," paparnya.
Menurut mantan anggota DPR ini, MK tidak akan melakukan intervensi kepada pihak kepolisian dalam melakukan pengusutan kasus tersebut. "Biar proses hukumnya berjalan menurut alurnya. Proses-proses itu bisa di Polri, DPR, MK, bahkan di masyarakat. Polri tidak perlu dipaksa sebagai aparat negara," jelasnya.
Dalam proses pengusutan kasus tersebut, imbuh dia, komponen masyarakat seperti DPR, MK, Polri, dan pers mempunyai peran masing-masing untuk mengawal hingga tuntas dan terang-benderang. "Masing dari kita punya posisi untuk meluruskan yang salah. Saya rasa MK tidak akan merasa dirugikan atau diuntungkan terhadap apa pun yang dilakukan Polri tentang itu. Silakan saja mau diapakan," jelasnya.
Mahfud merasa optimistis polisi dapat menuntaskan kasus surat palsu tersebut. Karena, selain melakukan konfrontasi dan rekontruksi, penyidik juga sudah menyita sejumlah alat bukti lain seperti surat dan rekaman rapat KPU. "Dari alat bukti itu sudah jelas alurnya. Hingga kini saya percaya dan berharap polisi tetap profesional. Jika Polri main-main, akan merugikan masa depan polisi sendiri," tandasnya.
Dalam kesempatan terpisah, anggota Panja Mafia Pemilu Abdul Malik Haramain mengatakan, pernyataan polisi yang mengaku kesulitan membedakan surat palsu MK, tidak bisa diterima. Surat palsu yang dimaksud bermonor 112/PAN MK/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus 2009 tentang sengketa Pemilu Legislatif untuk Dapil Sulsel. "Apa pun alasannya, tindakan polisi itu tidak masuk akal" ujarnya.
Politisi PKB ini menegaskan, MK telah memberikan penjelasan serta disertai lampiran mengenai surat yang asli yaitu yang bertanggal 17 Agustus 2009. "Statement MK sudah jelas mengenai surat tersebut" imbuhnya.
Sementara itu, anggota Panja Mafia Pemilu lainnya, Ganjar Pranowo menyatakan, pernyataan polisi mengenai surat yang asli dan palsu bukan merupakan hal yang substantif. Polisi harus dapat mengembangkan kasus ini hingga bisa membongkar tuntas dan menangkap aktor di balik kejahatan konstitusi tersebut. "Polisi harusnya bisa mengambil kesimpulan dalam hal tersebut," jelas politisi PDIP tersebut.(mic/rob)
|