JAKARTA, Berita HUKUM - Helmi Al Djufri Ketua Tim Advokasi bersama Afif Muchrom Ketua I PB PII menyampaikan laporan hasil investigasi larangan berjilbab, bagi pelajar muslimah se Provinsi Bali kepada Bapak Harris Iskandar Direktur Pembinaan SMA Dikdasmen Kemendikbud.
Laporan yang disampaikan dengan sejumlah data dalam satu bundle yang memuat: laporan perkembangan/laporan kerja Tim Advokasi sejak Oktober 2013 hingga Februari 2014, Draft Perkara larangan jilbab, Daftar sekolah yang melarang penggunaan jilbab, dokumen advokasi larangan jilbab tahun 2002, dan Press Release.
Dalam pertemuan itu Ketua Tim menyampaikan bahwa pelarangan jilbab di sekolah-sekolah Negeri se Propinsi Bali telah terjadi puluhan tahun sekitar sejak tahun 1980an. Artinya ada faktor kesengajaan Pemerintah Daerah, Kepala Sekolah dan para guru dalam memberlakukan pelarangan tersebut. Pandangan ini didasarkan pada pernyataan para Kepala Sekolah yang diwawancarai oleh Tim Advokasi di masing-masing sekolahnya.
Ketika menyatakan pelarangan jilbab di sekolah justru dengan bangga mengatakan bahwa, ‘aturan sekolah harus ditaati’. Dan ada mind set yang sangat keliru bahwa, menggunakan jilbab di sekolah merupakan bukan sesuatu yang harus diakomodir, justru sebaliknya murid muslim yang ingin berjilbab dituntut meminta kesadarannya dan toleransinya demi keseragaman, jangan memaksakan kehendak.
Parahnya lagi adalah mind set para Kepala Sekolah dan guru, bahwa di sekolah Negeri ‘tidak boleh menggunakan jilbab karena ini sekolah umum, bukan sekolah khas keagamaan, jadi sekolah Negeri harus seragam semua tidak boleh ada yang berbeda’. Murid yang ingin menggunakan jilbab justru disalahkan, karena tidak mentaati aturan sekolah, serta tidak memiliki kesadaran toleransi, bahkan dianjurkan untuk pindah sekolah jika masih berkeras hati menggunakan jilbab.
Selama satu bulan lebih melakukan investigasi, Tim Advokasi telah mengantongi 40 sekolah yang melarang, namun baru 31 sekolah yang dilaporkan kepada Direktur Pembinaan SMA Dikdasmen Kemendikbud, 9 sekolah lagi masih dalam penyusunan laporan.
Dari 40 sekolah tersebut merupakan sample dari perwakilan Kabupaten dan Kota se Provinsi Bali, karena latar belakang pelarangan, modus dan tujuannya hampir rata-rata sama.
Tim Advokasi memprediksi jumlah sekolah yang melakukan pelarangan lebih banyak dari dugaan awal, karena terlalu banyaknya sekolah yang melarang atau mudahnya menemukan sekolah yang melarang, sehingga muncul pertanyaan yang tepat untuk situasi tersebut adalah “Berapa sekolah Negeri yang membolehkan murid muslimah berjilbab?” ini adalah pertanyaan yang relevan, karena mudah untuk dijawab, bahkan jumlah jari tangan dan kaki pun mampu untuk menghitungnya.
Tim Advokasi bermaksud menghadirkan Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendikbud untuk turun menyelesaikan pergolakan besar yang sedang terjadi di Bali.
Tim Advokasi melaporkan situasi bathin dan mind set masyarakat muslim khususnya tentang tekanan pihak sekolah, karena berlakunya larangan berjilbab di sekolah-sekolah Negeri. Mereka harus memilih menggandaikan keimanannya agar bisa bersekolah di sekolah Negeri dengan melepas jilbab. Namun tidak sedikit pula yang memilih berjilbab dengan resiko memilih sekolah di sekolah Swasta Islam atau harus ke Pulau Jawa untuk belajar di sekolah Negeri. Animo seperti inilah yang terbangun selama puluhan tahun.
Kasus yang menimpa Anita Whardani murid kelas XII IPA 1 SMAN 2 Denpasar beberapa waktu lalu merupakan titik kulminasi, dimana pelajar muslimah sudah jengah atas kondisi yang terjadi di sekolah-sekolah Negeri. Namun sayangnya pelajar yang memiliki mental sekuat Anita untuk berhadapan dengan Pihak Sekolah dan teman-temannya sangat sedikit.
Resiko yang harus diterima Anita karena keinginannya memakai jilbab mendapat tantangan berat di lingkungan sekolahnya. Bahkan adik kelasnya yang ingin berjilbab mengikuti jejak Anita jadi mengurungkan niatnya, karena kekhawatiran resiko yang akan menimpa mereka.
Tim Advokasi dan PB PII khususnya mewakili pelajar muslim di Bali dan di seluruh Indonesia berharap, Kemendikbud dapat menyelsaikan persoalan tersebut selambat-lambatnya di awal April 2014.
Karena para pelajar akan menentukan pilihan sekolah barunya ketika Pendaftaran Siswa Baru di Bulan Mei 2014. Untuk itu, para pelajar dan orang tua serta masyarakt Bali umumnya harus mendapatkan jaminan perlindungan haknya memakai jilbab di sekolah. Serta para guru, Kepala Sekolah dan Pelajar Hindu khususnya dapat terbuka pemikirannya dan berubah mind setnya ke arah yang benar mengenai pemahaman kewajiban berjilbab bagi seorang muslimah, serta dapat membiasakan diri berdampingan dengan pelajar yang menggunakan pakaian seragam khas (jilbab) di sekolahnya.
Hal ini semata-mata agar isu ini tidak meluas menjadi isu SARA yang akhirnya akan menjadi akar penyebab konflik sosial baik konflik horisontal dan konflik vertikal.
Respon Harris Iskandar terhadap laporan pelarangan Jilbab di sekolah-sekolah Negeri di Provinsi Bali
Kemendikbud sangat berterima kasih atas laporan investigasi yang dilakukan oleh PII. Dengan adanya data-data tersebut yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan, Pemerintah Pusat akan mengambil langkah cepat dan tepat. Karena jika melihat kasusnya, sepertinya ada mind set yang salah mengenai aturan berjilbab di sekolah.
Mana mungkin juga Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan tidak mengetahui adanya SK Dirjen Dikdasmen tahun 1991 mengenai pedoman pakaian seragam sekolah. Dalam aturan itu sudah dijelaskan secara detail dan jelas mengenai pakaian seragam khas.
Tetapi mengapa mereka masih melakukan pelarangan jilbab yang benar-benar hak seorang dalam menjalankan ajaran agama. Padahal menjalankan ajaran agama merupakan hak seseorang yang tidak bisa dikurangi sedikitpun dalam kondisi apapun.
Kemendikbud akan melakukan musyawarah dengan Direktorat Jenderal Dikdasmen serta Kemenag, karena persoalan menjalankan kewajiban agama di sekolah juga membutuhkan faktor pendukung lainnya, seperti tersedianya Guru Agama sesuai agama muridnya, ini juga merupakan amanah UU SISDIKNAS, serta bagaimana pola pembinaan kerohanian pelajar muslim di sekolah.
Pemerintah juga merasakan melemahnya daya tekan kepada instansi di bawahnya, hal ini bisa diakibatkan dampak dari Aturan Otonomi Daerah. Sekarang Kemendikbud sulit melakukan koordinasi langsung dengan Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan, karena Kepala Dinas Pendidikan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
Sehingga jalur koordinasinya harus seperti itu. Ini juga (aturan Otda) sepertinya harus dievaluasi, agar kewenangan Kemendikbud dapat lebih kuat. Sekarang kan akibat Otda segala wewenang penyelenggaraan pendidikan diatur oleh daerahnya. Harapan saya agar secepatnya untuk urusan pendidikan menjadi kewenangan bersama, bukan lagi kewenang penuh daerah. Ini semata-mata untuk menjaga dan menjalankan agar amanah UUD 1945 mengenai hak seseorang dalam pendidikan dapat terkontrol, serta UU SISDIKNAS serta UU lainnya dapat diimplementasikan secara sempurna.
Jika PII tidak melaporkan kasus ini mungkin saja pemerintah tidak mendapatkan bahan dan data untuk melakukan evaluasi, ini merupakan kebahagiaan tersendiri karena PII masih ada di tengah masyarakat untuk berjuang di ranah pendidikan. Mungkin ini satu-satunya data yang bisa dijadikan referensi penting dalam merumuskan kebijakan dan evaluasi bagi Kemendikbud.
Mungkin Kemendikbud akan melakukan penyegaran terhadap Keputusan Dirjen Dikdasmen tahun 1991, agar isi kandungan peraturan tersebut dapat diimplementasikan secara baik dan merata, dan akan ditambahkan pula pasal-pasal lainnya, agar pelajar dapat mendapatkan pendidikan dengan layak dan dapat menjalankan kewajiban agamanya di lembaga pendidikan.
Pemerintah (Kemendikbud) akan melakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah ini, karena kita ketahui bersama bahwa permasalahan yang sedang dihadapi di Bali ini adalah berhadapan dengan budaya juga. Maka untuk menjaga hubungan baik secara emosional dan struktural harus menghargai nilai-nilai budaya lokal.
Kemudian Tim Advokasi memberikan masukan untuk Kemendikbud, jika ingin melakukan perubahan keputusan Dirjen Dikdasmen tahun 1991 agar pasal 10 ayat (3) yang berbunyi “Bagi siswa putri yang menggunakan pakaian seragam sekolah yang khas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan orang tua atau wali siswa” agar dihapuskan.
Menurut Tim Advokasi, fenomena yang terjadi di lapangan, Kepala Sekolah selalu mengkonfrontasi antara murid dengan orang tuanya jika sang murid ingin berjilbab. Misalnya pernyataan seperti “apakah orang tua sudah mengizinkan untuk berjilbab?” atau Kepala Sekolah selalu memanggil orang tua murid untuk dinasehati agar anaknya yang ingin berjilbab agar memikirkan ulang pilihan untuk pindah sekolah.
Menurut Tim Advokasi jika seorang murid ingin berjilbab ia tidak perlu meminta ijin kepada siapapun termasuk orang tua, kedudukan hukum memakai jilbab kan sama seperti halnya kewajiban Sholat, Puasa, Haji, Zakat, apakah kita harus meminta ijin dahulu jika ingin sholat atau puasa atau haji? Tentu tidak. Maka di sini juga perlu dipahami bersama bahwa hukum menggunakan jilbab adalah wajib, adapun yang ingin menggunakannya atau tidak itu adalah pilihan lain.(bhc/rat)
|