KPK harus menyelidiki kategori dari pemberian dana tersebut
JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Pernyataan Kapolri Jenderal Pol. Timur Pradopo yang menganggap wajar bagi anggota kepolisian menerima uang makan dari PT Freeport Indonesia, sangat disesalkan. Namun, yang lebih penting adalah Kapolri harus menjelaskan penggunaan uang itu dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu menyelidiki kategori dana itu sebagai bentuk suap, gratifikasi atau lainnya.
Demikian yang diungkap anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Novel Ali dan Ketua Presidum Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane di Jakarta, Minggu (30/10). Desakan mereka ini menyusul kontroversi di masyakarat mengenai bantuan dana Freeport itu serta situasi keamanan Papua yang hingga kini tak juga kunjung kondusif.
Menurut dia, penerimaan dana bantuan dari perusahaan asing tersebut menjadi pertanyaan besar dari masyarakat. Padahal, Polri sudah punya anggaran sendiri yang berasal dari APBN untuk membiayai operasinal personelnya di Papua.
Namun, kata dia, mengapa Polri masih mau menerima dana perusahaan asing itu. Untuk itu, Kapolri harus jujur menjelaskannya kepada publik dan transparan membeberkan penggunaan dana itu. “Kapolri harus jujur dan harus memberi penjelasan mengapa sampai seperti ini. Apakah ini yang menyebabkan polisi lebih memilih membela Freeport ketimbang warga Papua,” ujar Novel.
Menurut dia, terbongkarnya soal aliran dana 14 juta dolar AS dari Freeport kepada Polri, sudah pasti menimbulkan kecurigaan publik terhadap independensi Polri. Tapi tetap saja soal dana ini harus dipaprkan kepada publik. “Pokoknya Kapolri harus menjelaskan soal dana itu. Tapi dengan menerima dana itu, bukan berarti polisi harus menjadi centeng Freeport,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Presidum Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusut bantuan dana PT Freeport itu. Lembaga ini perlu menyelidiki soal dana PT Freeport tergolong suap, gratifikasi atau lainnya. “Dana 14 juta dolar AS itu tidaklah kecil, makanya harus diselidiki masuk kategori suap atau apa,” kata dia dalam rilisnya.
Jika bantuan dana itu masuk kategori suap dan gratifikasi, lanjut dia, oknum pejabat Polri yang menerimanya bisa diproses secara hukum. Jika melakukan pelanggaran hukum, harus diseret ke Pengadilan tipikor. Tapi yang paling disesalkan bahwa bantuan dana Freeport itu telah mengarah kepada politik adu domba antara aparat keamanan dengan rakyat Papua. “Untuk polisi bisa, mengapa untuk buruh Freeport tak mau memberikannya,” selorohnya.
Seperti yang telah diberitakan, Kontras mengungkapkan soal adanya pemberian imbalan kepada anggota TNI dan Polri dari PTFI sebesar Rp 1,25 juta per orang. Anggota DPR Lily Wahid pun menyampaikan hal serupa. Lalu, perushaaan itu mengakui telah mengelontorkan dana hingga 14 juta dollar AS. Dana ini untuk menjaga daerah pertambangan mereka di Papua.
Berdasarkan data Kontras, sebanyak 635 personel TNI dan Polri ditugaskan untuk melakukan pengamanan PTFI itu. Hal ini tertuang dalam SK Polda Papua Nomor B/918/IV/2011 tertanggal 19 April 2011. Pasukan gabungan ini terdiri atas 50 anggota Polda Papua, 69 Polres Mimika, 35 Brimob Den A Jayapura, 141 Brimob Den B Timika, 180 Brimob Mabes Polri dan 160 TNI. Personel ini diganti setiap empat bulan sekali. Satgas pengamanan ini diberi imbalan Rp. 1.250.000 per orang yang langsung diberikan manajemen PT Freeport Indonesia kepada aparat.(ppc/bie/rob)
|