JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (29/10) siang. Agenda sidang perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 ini adalah mendengarkan keterangan tambahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Sidang perkara ini dimohonkan tujuh orang Pemohon yang berasal dari berbagai profesi dan badan hukum, di antaranya Arjuna Pemantau Pemilu, M. Faesal Zuhri, dan Robnaldo Heinrich Herman.
Para Pemohon mengujikan kata "serentak" dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28G Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945. Atas hal tersebut, Komisioner Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari dalam keterangannya dalam persidangan kali ini menjelaskan mengenai pelaksanaan konsep pemilihan umum serentak terkait waktu yang dibutuhkan pemilih dalam pemungutan dan penghitungan suara.
Hasyim mengungkapkan, KPU sebelum melaksanakan Pemilu Serentak 2019 dengan 5 kotak suara, telah melakukan simulasi pada tiga wilayah. Salah satunya, adalah simulasi pemilihan di Kabupaten Tangerang yang dilaksanakan pada 19 Agustus 2017 dengan 500 pemilih yang terdaftar dalam DPT dan 512 lembar surat suara. Adapun hasil yang diperoleh adalah pemilih yang hadir 249 orang, saksi 22 orang, dan pemilihan dilakukan pada 4 bilik suara. Adapun rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk pemungutan suara bagi pemilih umum adalah 4 menit, pemilih lansia 5 menit, pemilih yang sedang hamil 7 menit, pemilih disabilitas 7 menit, pemilih tunanetra memerlukan waktu 9 menit, dan ibu rumah tangga membutuhkan waktu 4 menit. Sedangkan untuk penghitungan suara dibutuhkan waktu selama 1 jam 15 menit dan pengisian berita acara selama 20 menit.
"Jadi kesimpulan untuk pemungutan suara selama 6 jam, sedangkan untuk penghitungan suara waktu yang dibutuhkan bergantung pada jumlah pemilih yang hadir. Dengan catatan, simulasi ini dilakukan tidak disertakan dengan permasalahan keberatan dan penyelesaiannya," urai Hasyim di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Syarat Verifikasi Ketat
Terkait dengan adanya pendapat yang menyatakan syarat verifikasi terhadap peserta pemilu 2019 yang sangat ketat, Hasyim pun menyebutkan bahwa terdapat 73 partai politik yang mendaftarkan diri seagai peserta Pemilu 2019 pada Kementerian Hukum dan HAM. Namun hanya ada 27 partai politik yang kemudian mendaftar ke KPU, dengan hasil bahwa 13 partai politik tidak memenuhi syarat atau kelengkapan dokumen. Sehingga hanya ada 14 partai politik nasional yang dinyatakan memenuhi syarat. Adapun dari 13 partai yang belum memenuhi syarat tersebut, terdapat 9 partai politik yang mengajukan upaya hukum ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan permohonan pengaduan pelanggaran administrasi.
"Atas hal ini, Bawaslu memutuskan agar pendaftaran dilakukan dua tahap. Maka bagi partai politik yang kemudian memenuhi syarat dokumen seperti Partai Berkarya dan Partai Garuda setelah dilakukan verifikasi faktual dan dinyatakan telah memenuhi ketentuan, maka dapat maju kembali sebagai partai politik peserta pemilu," jelas Hasyim.
Pada sidang sebelumnya para Pemohon menyebutkan bahwa ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur perihal penyelenggaraan pemilu seharusnya membawa kemaslahatan bagi rakyat dan tidak boleh merugikan kepentingan rakyat khususnya menyangkut nyawa manusia. Namun, para Pemohon menilai Pemilu Serentak 2019 tersebut sangat berat dan memiliki tekanan yang cukup tinggi karena adanya penggabungan penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota Legislatif. Bahkan, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) mencatat 544 orang petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia dan 3.788 orang jatuh sakit.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar menyampaikan bahwa sidang dalam perkara ini ditunda hingga Senin, 18 November 2019 pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli yang dihadirkan MK.(Sri Pujianti/NRA/MK/bh/sya). |