JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi III DPR RI, Asrul sani menegaskan bahwa dari penjelasan pimpinan KPK memang ada potensi kerugian negara pada kasus pembelian RS. Sumber Waras oleh pemerintah prov DKI Jakarta. Namun hal itu tidak otomatis terjadi perbuatan melawan hukum.
“Memang ada potensi kerugian negara dalam kasus pembelian RS Sumber Waras. Namun hal itu bukan berarti terjadi perbuatan melawan hukum atau tidak otomatis terjadi tindak korupsi. Apa yang diungkapkan KPK itu per hari ini, dan mereka mengaku terus melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Jadi tidak ada istilah case close. Jadi bisa saja nanti ditemukan bukti baru. Jika itu benar, tidak juga bisa dikatakan KPK mencla-mencle, karena itu perkembangan per hari ini,” jelasnya usai rapat Komisi III dengan KPK, di ruang rapat Komisi III, Senayan, Jakarta, Rabu, (15/6).
Dilanjutkan politisi fraksi PPP ini, ada perbedaan cara pandang antara KPK dengan BPK dalam melihat kasus ini. KPK menganggap bahwa pengadaan atau pembelian tanah di bawah 5 hektar sesuai pasal 121 Perpres No. 40 Tahun 2014 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum tidak perlu melewati berbagai tahapan sebagaimana pengadaan tanah di atas lima hektar dapat dilakukan pembelian langsung antar instansi yang memerlukan dan pemilik tanah. Sementara BPK tidak demikian, negosiasisnya bisa langsung tapi tahapan perencanaannya, penganggaran dan sebagainya harus tetap mengikuti.
"Apakah kemudian BPK salah? Tidak juga. Ini seperti kita melihat gajah, satu dari samping dan satunya dari depan. Dan menurut saya pribadi, cara pandang KPK itu juga wise sekali, ada potensi kerugian negara yang dijadikan data permulaan penyelidikan mereka, tapi itu tidak otomatis terjadi perbuatan melawan hukum. Itu untuk menghindari orang-orang yang sebenarnya tidak mendapat keuntungan sama sekali dari jabatan kerjanya namun terkena hukuman karena adanya kerugian negara," tandasnya.
Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III, Benny K Harman ini juga sempat mengemuka masukan untuk mempertemukan BPK dan KPK. Hal itu semata untuk menghindari kesimpangsiuran antar dua lembaga negara ini. Sehingga kepercayaan publik terhadap dua lembaga ini pun tidak berkurang.(Ayu/DPR/bh/sya) |