JAKARTA, Berita HUKUM - Sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, posisi KPK rentan terhadap berbagai serangan dari koruptor dan antek-anteknya.
"Sepanjang berdirinya KPK akan selalu ada upaya pelemahan dari pihak-pihak yang merasa terganggu," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun di Jakarta, Jum'at kemarin (7/12).
Dia melanjutkan, tiap kali KPK mengusut suatu kasus besar yang menyita perhatian publik, tidak lama berselang langsung muncul perlawanan balik. Menurut dia, KPK kerap berjalan sendirian, dukungan politik dari pemerintah pun setengah hati.
Terkait penarikan penyidik KPK kembali ke kepolisian, kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa revisi peraturan pemerintah yang mengatur manajemen sumber daya manusia (SDM) di KPK terlalu lama.
"PP yang mengatur penugasan penyidik Polri di KPK. Saya nilai sudah terlambat, segera selesaikan. Saya minta 1-2 hari ini disampaikan," kata Presiden.
Padahal, Presiden sudah memerintahkan revisi PP itu sejak Oktober lalu. Setelah melihat fenomena tersebut, tokoh rohaniwan Romo Mudji Sutrisno melihat korupsi ibarat penyakit kanker yang harus dibedah. Pembedahan korupsi, jelasnya, harus dilakukan oleh seorang pemimpin yang tegas. "Namun, keraguan untuk memotong rantai korupsi menjadikan bangsa ini kian terpuruk."
Prihatin Secara terpisah Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Natalia Soebagio prihatin dengan upaya pelemahan terhadap KPK.
Upaya KPK kerap tidak mendapat dukungan dari penegak hukum lain. Menurut dia, semakin sukses KPK, upaya pelemahan akan semakin masif dari segala penjuru.
Pada 2012 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya 32. Skor tersebut terbilang rendah jika dibandingkan dengan Singapura (87), Malaysia (49), bahkan Timor Leste (33).
Dengan pencapaian itu, Indonesia saat ini berada pada peringkat 118, jauh di bawah Singapura yang berada di peringkat 5, Brunei di posisi 46, Malaysia di peringkat 54, dan Thailand di posisi 88. Pemeringkatan itu menunjukkan bahwa korupsi dan layanan publik Indonesia tahun ini lebih buruk daripada tahun lalu, yang berada pada peringkat 100.
Menurut anggota Bidang Penyelesaian Laporan Ombusman Budi Santoso, menurunnya peringkat Indonesia menunjukkan dua hal. Pertama, hal itu disebabkan meningkatnya kesadaran dan keberanian masyarakat dalam melaporkan pelayanan publik yang menimbulkan peningkatan data kecurangan pelayanan publik. Kedua, menunjukkan masih masifnya tindakan korupsi dalam pelayanan publik.
Berdasarkan data laporan yang dimiliki Ombusman, dalam tiga tahun terakhir (2009-2011) pelayanan publik tidak mengalami perubahan.
Peringkat pertama diduduki oleh pemerintah daerah melalui SKPD dan dinas-dinas, diikuti pelayanan kepolisian, peradilan, pertanahan (BPN) dan kementerian, BUMNBUMD. "Lima institusi itu merupakan tempat banyaknya perilaku korupsi dalam layanan publik," ujarnya.(mi/kpk/bhc/opn) |