JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan semakin menakutkan, terutama bagi pejabat yang suka menerima gratifikasi seks. Pasalnya, KPK semakin ngotot untuk memasukkan gratifikasi seks dalam Undang-Undang (UU) No. 31 tahun 1999. Meski KPK sebenarnya mengaku kesulitan untuk menerapkan peraturan itu, tapi KPK tidak patah arang untuk memberantas pelanggaran-pelanggaran yang terkait suap-menyuap.
Yang menjadi kesulitan KPK adalah untuk membuat kerangka hukumnya, sebab gratifikasi seks ini sulit untuk membuktikan bukti materilnya. Dengan kata lain, gratifikasi seks sulit untuk dibuktikan antara bukti materil, pelapor atau bahkan terlapor. Hal itu diakui oleh Johan Budi SP, Juru Bicara KPK, Rabu (9/1) siang. Menurut Johan, gratifikasi seks itu bentuk tindak pidana korupsi tambahan tanpa adanya barang bukti yang mengacu pada materil.
"Persoalannya siapa yang berani melaporkan? Apa dia penyelenggara negara atau orang yang dijanjikan dapat gratifikasi itu? Itu akan sulit divalidasi datanya," ujar Johan.
Johan melanjutkan, memang pada dasarnya gratifikasi tindakan mesum ini banyak sekali macamnya, bisa berbentuk diskon atau aturan. Apalagi sampai saat ini KPK belum sekalipun menerima laporan pelanggaran adanya gratifikasi seks. "Tapi sinyalmen bisa saja terjadi," tambahnya.
Peraturan ini sudah diberlakukan di beberapa negara tetangga, misalnya Singapura, Korea Selatan, dan lain-lain. Hal itu bisa saja dilakukan sembari menunggu kerangka teori hukum yang sedang dibangun. Oleh sebab itu KPK mengajak masyarakat untuk terlibat demi sebuah keadilan dan kebenaran. "Tapi kalau sampai 30 hari tidak ada laporan terkait gratifikasi seks dan nanti ada laporan dari masyarakat bahwa penyelenggara negara itu terindikasi menerima gratifikasi maka akan ditindak sesuai hukum," jelasnya.
Johan berharap, jika gratifikasi seks ini dimasukkan kedalam Undang-Undang (UU) dengan dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi, maka KPK berjanji tidak segan-segan untuk menindak tegas pelaku yang terlibat. Sebagai referensi, pihaknya sudah melihat dari Korea Selatan dan Singapura yang sudah memberlakukan gratifikasi ini bahwa merupakan bentuk pelanggaran dan sudah dipakai. "Di korea Selatan dan Singapura ada pejabat negara ada yang diadili karena menerima hadiah (gratifikasi seks)," terangnya.(bhc/din) |