JAKARTA, Berita HUKUM - Sumber daya alam Indonesia melimpah, namun masih banyak terjadi ironi akibat buruknya tata kelola. Hasil kajian KPK di sektor ini, ada sedikitnya 10 persoalan terkait pengelolaan pertambangan yang diamanatkan UU, namun belum selesai hingga saat ini. Antara lain renegosiasi kontrak (34 KK dan78 PKP2B), peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang mineral dan batubara, penataan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation).
Lima persoalan lainnya, yakni pelaksanaan kewajiban pelaporan secara reguler, pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pascatambang, penerbitan aturan pelaksana UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pengembangan sistem data dan informasi, pelaksanaan pengawasan, dan pengoptimalan penerimaan negara.
Karena itu, KPK melakukan upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi dengan melakukan kegiatan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di 12 provinsi. Ini dimaksudkan untuk mengawal perbaikan sistem dan kebijakan pengelolaan PNBP mineral dan batubara.
Salah satu persoalan, misalnya pada data produksi batu bara pada 2012 yang tidak akurat antara Ditjen Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM yang mencatat sebesar 288,5 juta ton, sedangkan pada data BPS 466,3 juta ton. Kalau selisih ini dihitung sebagai penerimaan pajak yang hilang, maka terdapat potensi hilangnya penerimaan pajak yang hilang sebesar 28,5 triliun pada 2012.
Ditjen Minerba juga mencatat, sejak 2005-2013, piutang negara tercatat sebesar 1.308 miliar rupiah, terdiri dari iuran tetap 31 miliar rupiah atau 2,3 persen dan royalti sebesar 1.277 miliar atau 97,6 persen. Sedangkan jumlah piutang pada 12 provinsi yang dilakukan korsup sebesar 905 miliar rupiah atau 69 persen dari total piutang. Terdiri dari iuran tetap sebesar 23 miliar rupiah dan royalti sebesar 882 miliar rupiah. Piutang ini berasal dari 1.659 perusahaan dari total 7.501 IUP yang ada di 12 provinsi.
Dari rekapitulasi data per April 2014 Ditjen Minerba, terdapat 10.922 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di seluruh Indonesia. Sebanyak 6.042 telah berstatus clean & clear (CNC) dan 4.880 sisanya berstatus non CNC. Tak hanya soal status CNC, persoalan lain adalah masih banyaknya perusahaan pemegang IUP yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Data Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754 perusahaan pemegang IUP, 3.202 di antaranya belum teridentifikasi NPWP-nya.
Pada 19 Juni ini, KPK melakukan korsup minerba di Provinsi Sulawesi Tenggara. Di sini, juga masih ditemukan persoalan. Antara lain, dari 472 IUP yang ada, sebanyak 146 di antaranya masih berstatus non CNC. Yang paling banyak ditemukan di Kabupaten Konawe Utara sebanyak 47 IUP, Kabupaten Buton dengan 24 IUP dan Kabupaten Bombana dengan 17 IUP. Dari total IUP yang ada di provinsi ini, juga masih ditemukan sebanyak 19 IUP yang belum memiliki NPWP.
Persoalan kurang bayar juga ditemukan di provinsi ini, dengan nilai lebih dari 201 miliar rupiah. Bahkan, dari 10 kabupaten di provinsi ini, hanya 1 IUP di Kabupaten Konawe Utara yang menyediakan dana jaminan reklamasi, sebesar 1,7 triliun rupiah. Sedangkan data jaminan pasca tambang tidak tersedia.
Persoalan lain, adanya IUP yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Ada lebih dari 642 ribu hektar luas hutan lindung yang tumpang tindih dengan areal pertambangan. Ini juga terjadi pada lokasi yang dikategorikan areal penggunaan lain, yakni lebih dari 281 ribu hektar.
Karena itu, sebagai bukti komitmen KPK dalam melakukan pencegahan korupsi dan penyelamatan keuangan negara, KPK telah berkoordinasi dengan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Daerah.
Ini dilakukan atas dasar bahwa pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya mineral harus dilakukan sesuai dengan amanat UUD 1945, khususnya pasal 33, serta UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Intinya, pengelolaan sumberdaya mineral untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
UU ini juga mengamanatkan kewajiban untuk melakukan penciptaan nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional. Penciptaan nilai tambah dilakukan sejak dari kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.(kpk/bhc/sya) |