JAKARTA, Berita HUKUM - Belum selesai kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tiga polisi Malaysia terhadap tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia, kini terulang kembali kasus pemerkosaan terhadap TKW asal Nanggroe Aceh Darussalam oleh majikannya di Malaysia.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengutuk dengan keras tindakan pemerkosaan majikan Malaysia terhadap TKI asal NAD di daerah Sembrang, Negara Bagian Sembilan, Malaysia, sesuai laporan yang diterimanya Senin (12/11) malam.
"Kita kutuk perbuatan pemerkosaan terhadap TKI asal Aceh. Itu perbuatan anarki, liar dan biadab," kata Jumhur dalam dialog di sebuah televisi swasta bersama Anggota Komisi IX DPR RI Poempy Hidayatullah, dan wawancara langsung Direktrur PHII/WNI Tatang Abdul Razak, serta aktivis migran care dari Malaysia Alex Ong, Selasa (13/11).
TKI itu kini dapat perlindungan dari KBRI, dan dirawat di rumah sakit setempat. Polisi Malaysia masih mengejar majikan yang memperkosa TKI tersebut.
Menurut Jumhur, sejak pemberlakuan moratorium (penghentian sementara-red) penempatan TKI ke Malaysia Juni 2009 lalu, sudah banyak mengalami dampak positif berupa paspor dipegang TKI, gaji dibayar melalu bank, libur satu hari dalam sepekan hingga cuti kerja.
Kita juga sudah memutuskan untuk tidak menempatkan TKI Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) secara resmi, ujarnya.
Jumhur menegaskan, di luar kekerasan oleh majikan, pemerintah Malaysia perlun me-reedukasi kepolisiannya agar tidak lagi melakukan pemalakan, pemerasan, penganiayaan bahkan penembakan. Reedukasi ini berkaitan dengan masalah penghargaan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kekerasan aparat polisi Malaysia bukan lagi oknum tapi sudah pembiaran,” tegas Jumhur.
Dicontohkannya, jangankan TKI, mantan Deputi Perdana Menteri, Anwar Ibrahim pun sempat dipukul ketika pertama kali masuk penjara Malaysia.
“Kita boleh marah tapi jangan menyerah. Masalah TKI harus dibedakan antara masalah ketenagakerjaan dengan masalah criminal,” jelasnya.
Dua hal itu berbeda dan sayangnya, katanya, masyarakat sering tidak memahami perbedaan itu.
“Masalah ketenagakerjaan itu berkaitan dengan aspek hubungan perindustrian, antara majikan dengan pekerja,” kata Jumhur.
Jumhur menuturkan, banyak laporan pengaduan tentang perilaku petugas Rela (semacam Satpol PP di Indonesia-red) yang membuang dokumen resmi TKI hanya demi mendapatkan nama dari pimpinannya.
Kami mengecam perilaku petugas Rela Malaysia,” tuturnya.
Jumhur menyesalkan, penyelesaian hubungan ketenagakerjaan di Malaysia itu tergantung aparaturnya.
“Di Malaysia aparaturnya sangat tidak menegakkan hukum,” sesalnya.
Senada dengan Jumhur, anggota DPR-RI, Poempi mengatakan bahwa kekerasan terhadap TKI ini berkaitan dengan adanya pandangan yang merendahkan terhadap TKI dengan sebutan Indon.
“Degradasi, istilah Indon. Penghormatan itu sudah tidak ada,” kata Poempy.
Menurut Poempy, degradasi kehormatan ini sudah berjalan secara sistematis. Poempy menyarankan dari kasus ini pemerintah harus memberi ‘tamparan’ keras dengan melaporkan kekerasan aparatur polisi Malaysia ini ke Mahkamah Internasional sebagai pelanggaran berat kemanusiaan.(ipb/bhc/rby)
|