JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk Perkara Nomor 59, 62, 70, 71, 73, 77, 79/PUU-XVII/2019 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/2) lalu dengan agenda mendengarkan keterangan para Ahli Pemohon.
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana mengatakan, semangat antikorupsi menjadi landasan lahirnya perubahan-perubahan konstitusi yang membawa reformasi. "Jadi sangat jelas bahwa semangat antikorupsi mewarnai perubahan konstitusi kita dan karenanya ruh antikorupsi ditiupkan ke dalam UUD 1945," ucap Denny kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Dikatakan Denny, independensi merupakan salah satu roh KPK. Mengenai Dewan Pengawas KPK dan revisi UU KPK, ungkap Denny, salah satu persoalannya terletak pada bagaimana hal-hal tersebut menghancurkan prinsip independensi.
"Bagaimana KPK kemudian dimasukkan ke dalam executive agency, tidak lagi sebagai independent agency. Dewan Pengawas dengan segala kewenangannya, terutama dalam perizinan-perizinan terkait dengan hukum yang memaksa, penyadapan, penggeledahan dan lain-lain, menurut kami sudah masuk ke dalam tataran yang merusak independensi KPK," urai Denny sebagai Ahli Pemohon Perkara 59/PUU-XVI/2019.
Denny menyampaikan, model semacam dewan pengawas tidak ditemukan dalam praktik penegakan hukum di negara-negara lain. Sedangkan revisi UU KPK melalui berbagai perubahan, menurut Denny, senyatanya harus dimaknai sebagai masuknya kontrol, terutama eksekutif ke dalam tubuh KPK. "Kami berpandangan, revisi UU KPK tidak terkecuali tentang Dewan Pengawas harus betul-betul dilihat dengan cermat dan lebih dalam dari sekadar teks. Apakah ini legal policy, open legal policy atau bukan," kata Denny.
Tantangan Berat
Sementara Mantan Ketua KPK M. Busyro Muqoddas menyampaikan bahwa pemberantasan korupsi menghadapi tantangan yang sangat berat, terutama setelah pemberlakuan UU KPK. "Politik hukum pembentukan KPK diawali reformasi, tidak hanya diharapkan untuk memberantas korupsi, tetapi juga menjadi jawaban bahwa Indonesia sedang menghadapi kejahatan yang luar biasa. Oleh karena itu, upaya pemberantasannya tidak bisa dilakukan dengan cara yang biasa, tapi dengan cara luar biasa," jelas Busyro.
Diungkapkan Busyro, pemberantasan korupsi perlu dilakukan secara intensif, profesional dan berkesinambungan karena merugikan keuangan negara, menghambat pembangunan nasional serta memiskinkan rakyat secara terstruktur, masif dan sistematis. "Dalam rangkaian ketatanegaraan yang kontemporer, KPK sebagai lembaga independen kedudukannya sejajar dengan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif," ucap Busyro sebagai Ahli Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019.
Sedangkan Ridwan menerangkan dari perspektif hukum administrasi. "Izin dalam konteks hukum administrasi adalah organ pemerintah berdasarkan peraturan perundangan yang disyaratkan untuk satu aktivitas memerlukan pengawasan khusus," kata Ridwan yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Dilihat dari perspektif ilmu yang dikuasainya, Ridwan menyebut KPK adalah suatu institusi yang dibentuk melalui undang-undang, yang dalam pembentukannya dilekati wewenang. Untuk menjalankan wewenang tersebut, diperlukan fungsionaris yang akan melaksanakan wewenang pada jabatan itu, di antaranya Dewan Pengawas KPK. "Dewan Pengawas dan Pimpinan KPK berada dalam satu institusi yang kedua-duanya bertindak untuk dan atas nama institusi KPK, yang ada pembedaan mengenai fungsinya. Pembedaan itu secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang," ujar Ridwan sebagai Ahli Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019.
Sebagaimana diketahui, Perkara Nomor 59/PUU-XVI/2019 dimohonkan oleh 25 orang advokat yang menguji formil dan materil UU KPK. Para Pemohon berpendapat, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara. Proses pengesahan perubahan Undang-Undang KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Perubahan UU KPK sebagaimana diketahui para Pemohon dan masyarakat luas dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat. Hal tersebut berarti pembentukan undang-undang tersebut tidak memenuhi asas keterbukaan.
Selanjutnya Gregorius Yonathan Deowikaputra sebagai Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XVI/2019 menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media massa, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup, tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di laman resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama. Adanya fakta tersebut, menurut Pemohon, jelas bahwa UU Perubahan Kedua UU KPK tidak dilandasi dengan adanya asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" serta "keterbukaan" yang merupakan asas-asas wajib yang harus diterapkan oleh DPR dalam melakukan pembentukan suatu undang-undang.
Sedangkan Fathul Wahid dkk. selaku Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVI/2019 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU No. 12/2011 sebelum perubahan, karena UU No. 15/2019 tentang Perubahan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baru disahkan pada 2 Oktober 2019 dan diundangkan pada 4 Oktober 2019 dalam Lembaran Negara Tahun 2019 Nomor 183. Sementara proses pembentukan UU KPK berakhir pada 17 September 2019.
Sementara Perkara Nomor 71/PUU-XVI/2019 yang dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Keberadaan Dewan Pengawas yang diatur oleh undang-undang a quo justru menyimpang dari suatu sistem pengawasan, dan berujung pada pelemahan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Berikutnya, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XVI/2019 menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK telah memberikan standardisasi yang proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat diskriminatif. Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK menjadi tidak relevan untuk diterapkan sepanjang dimaknai "bahwa hanya profesi/instansi-instansi pemerintah" sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo dalam mempersyaratkan seseorang untuk menjadi Penyelidik KPK. Hal tersebut menyebabkan hanya orang yang berasal dari profesi/instansi-instansi pemerintah tersebut yang oleh Pimpinan KPK dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Penyelidik KPK.
Kemudian Jovi Andrea Bachtiar dkk. untuk Perkara 77 melakukan pengujian materiil antara lain Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Sedangkan para Pemohon Perkara Nomor 79/PUU-XVI/2019 antara lain Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif sebagai petinggi KPK. Para Pemohon berpandangan, pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang dipandang Pemohon menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang a quo. (NanoTresna Arfana/Raisa/LA/MK/bh/sya) |