JAKARTA, Berita HUKUM - Adanya perubahan skema pendanaan proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) dinilai menguntungkan Pemprov DKI Jakarta. Pasalnya, meski berkurang hingga 7 persen, namun hal itu akan mengurangi beban pengeluaran Pemprov DKI Jakarta hingga sebesar Rp 1 triliun. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo mengaku masih akan melakukan pendekatan kembali terkait skema pendanaan MRT tersebut.
Direktur PT MRT Jakarta, Tribudi Rahardjo menuturkan, skema pendanaan MRT semula 58 persen ditanggung Pemprov DKI dan 42 persen oleh pemerintah pusat. Namun, kini skema pendanaan angkutan massal berbasis rel itu berubah menjadi 51:49.
"Dengan kesepakatan saat ini yang menurunkan beban pendanaan oleh Pemprov DKI hingga 51 persen juga meringankan beban kami. Karena penurunan itu setara dengan Rp 1 triliun," ujar Tribudi, Rabu (20/2).
Dengan perubahan komposisi pendanaan itu, dikatakan Tribudi, pihakya tengah meninjau kembali perhitungan tarif yang akan dibebankan kepada penumpang. Hasil kajian sementara, dengan skema pendanaan seperti yang disepakati saat ini, tarif MRT diperkirakan mencapai Rp 8.500-Rp 15 ribu per penumpang.
Meski begitu, kata Tribudi, jumlah itu belum final. Sebab, pihaknya juga masih akan melakukan evaluasi mengenai sejauh mana kemampuan yang dimiliki masyarakat. Terlebih, kemungkinan masih ada beberapa kemungkinan yang dikurangi atau ditambah. "Angkanya belum final, masih dihitung apakah akan dibebankan semua ke penumpang atau tidak," katanya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menuturkan, pihaknya juga masih akan melakukan pendekatan terkait skema pendanaan MRT. Ia pun belum mau banyak berkomentar mengenai tarif yang akan dibebankan kepada penumpang. "Masih dilakukan pendekatan lagi, tadi yang disampakan Rp 8.500-Rp 15 ribu," kata Jokowi.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga akan membentuk tim kajian untuk proyek mass rapid transit (MRT). Tim ini nantinya melibatkan masyarakat atau pun lembaga yang peduli terhadap pembangunan transportasi massal berbasis rel ini.
"Nantinya bakal ada evaluasi dari tim kajian yang bakal kami kerjakan," ujar Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, di Balai Kota Jakarta, Rabu (20/2).
Dibentuknya tim kajian, kata Jokowi, sangat bagus karena usulan dari masyarakat terhadap problem yang terjadi jika pembangunan dilakukan. Seperti, apakah MRT harus seluruhnya dibangun di bawah tanah atau setengahnya dibangun di atas atau elevated. "Jangan sampai sebuah rencana dikerjakan dan keluar duit banyak, tetapi masyarakat merasa dirugikan," katanya.
Tim kajian yang akan dibentuk datang dari keinginan masyarakat pada saat uji publik MRT. Ruli Daniel dari MRT Peduli mengatakan, setuju untuk pembangunan MRT. Namun, dia meminta pembangunan dilakukan seluruhnya di bawah tanah. "Pembangunan MRT kurang jelas untuk masyarakat. Harusnya melibatkan kami dalam kajiannya," ujar Ruli.
Lalu ditambah lagi ada permintaan dari Faisal Rusdi dai Free Barrier Tourism, komunitas penyandang cacat, yang menginginkan pembangunan MRT bersahabat untuk kaum penyandang cacat. "Kami minta dilibatkan dalam pembangunan MRT karena banyak fasilitas umum yang tidak memihak pada kami," ujarnya.
Di lain pihak, Direktur Keuangan dan Administrasi MRT, Erlan Hidayat, sepakat dengan adanya tim kajian MRT. Menurut dia, tim harus berjalan paralel selama berjalannya pembangunan. "Kami juga memiliki kewajiban untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat yang tempat tinggalnya dilewati MRT. Kami terbantu dengan adanya tim ini," Erlan menjelaskan.
Dalam PT MRT Jakarta sendiri, menurut dia, telah dibuat wadah untuk menampung keluhan dan dampak yang nantinya dirasakan masyarakat. "Ini supaya bisa ditindaklanjuti," katanya.
Uji publik MRT yang untuk kedua kalinya diselenggarakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dihadiri oleh sejumlah pemangku kepentingan. Antara lain Wakil Menteri Pekerjaan Umun Hermanto Dardak, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Masyarakat Transportasi Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, warga MRT Peduli, dan sejumlah LSM lainnya.(dbs/bhc/opn)
|