JAKARTA, Berita HUKUM - Kesempatan Hari Raya Idul Fitri harusnya dimanfaatkan oleh umat muslim untuk 'berjeda' dan bermuhasabah. Hari mulia ini harus dimanfaatkan untuk mendamaikan, meniadakan tindakan kontra produktif, terlebih menaikan intensitasnya.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam acara Halal bi Halal yang diselengarakan oleh Universitas Muhammadiyah Surabaya pada Rabu (19/5) secara daring.
Dalam konteks kebangsaan, menurut Haedar, selalu ada sosok yang selalu ingin 'heboh' untuk menjaga eksistensi dirinya. Di era media sosial terlebih, banyak manusia yang mempertontonkan 'keakuan'nya. Bahkan demi menjaga eksistensinya meski mereka salah enggan minta maaf karena sifat egoismenya.
"Hal-hal psikologis seperti ini kelihatan sederhana, tapi jika diakumulasi menjadi banyak orang maka biasanya kemudian menyambung silaturahmi yang terputus itu bukan perkara muda," kata Haedar.
Haedar juga menyebut, bahwa banyak orang yang telah bertemu secara fisik saling memaafkan namun ruhnya tidak, mereka lain di kata lain di hati. Mereka hanya bertemu fisik, tapi tidak di hati. Karena itu ia meminta untuk menghayati betul makna silaturahmi.
Menurutnya, dalam hubungan antar manusia terdapat kendala yang bisa menimbulkan keretakan. Haedar berseloroh, selain disebabkan perbedaan pendapat, retak hubungan juga bisa disebabkan adanya perbedaan pendapatan.
Maka dipelukan membangun mu'asyarah (perbaikan), tindakan ini diperlukan untuk perbaikan pada semau level hubungan, baik ditingkat keluarga, masyarakat, persyarikatan, dan kebangsaan. Tapi jangan lupa, mu'asyarah juga dilakukan dengan cara bil ma'ruf.
Dalam konteks persyarikatan, merupakan keniscayaan jika diisi oleh keragaman. Berbagai model dan gaya manusia bisa ditemui, karena memang tidak seragam. Maka kunci untuk menjaga organisasi/ persyarikatan itu adalah anggota harus berada dalam persyarikatan, bertindak sesuai regulasi yang disepakati bersama.(muhammadiyah/bh/sya) |