CINA, Berita HUKUM - Jack Ma paham benar akan kebangkitan sekaligus kejatuhan Hu Xueyan. Ia merupakan pedagang yang sukses menumpuk kekayaan terbesar terhebat di Cina pada zaman Dinasti Qing, sebelum kehilangan segalanya.
Nasib Hu seakan-akan menjadi peringatan bagi konglomerat Cina yang bermain-main politik. Sampai sekarang, permainan semacam itu dikenal dengan istilah “mengenakan topi merah.”
Topi merah adalah lambang pejabat dalam Dinasti Qing, yang kekuasaannya berakhir pada 1912. Ketika kerajaan menghadiahkan topi merah kepada Hu, sosok dari kelas pedagang, tentulah ini terasa sebagai penghormatan yang luar biasa. Di lain sisi, hak baru Hu turut menjerumuskannya dalam politik kerajaan. Kehidupan Hu akhirnya kacau-balau.
Kini, lihatlah Ma, pemimpin raksasa e-commerce Alibaba. Penawaran saham perdana perusahaan yang didirikannya tercatat sebagai IPO terbesar dalam sejarah. Namun, bukan berarti Ma mengabaikan risiko kesuksesannya.
“Jika Anda memadukan kekuatan dan uang, sudah pasti mereka akan meledak,” katanya dalam suatu seminar di Beijing pada 2012. Pernyataan Ma mengacu pada Hu, yang hunian mewahnya kini menjadi museum di Hangzhou, kota kampung halaman Alibaba. Namun, apa yang berlaku bulan lalu?
Pemerintah Beijing menegur Alibaba lantaran gagal menindak penjualan barang-barang palsu, suap, serta praktik ilegal lainnya.
Gertakan seperti itu bisa menjadi masalah serius bagi suatu perusahaan Cina. Namun, Alibaba begitu bersemangat memprotes Beijing. Pada akhirnya, inilah yang terjadi: Kantor Industri dan Perdagangan Cina menarik dokumen teguran dari situs mereka. Di lain kubu, Alibaba berjanji akan lebih agresif memberantas barang-barang palsu. Ma sendiri pada Selasa berjanji akan bekerja sama dengan otoritas terkait demi mengatasi masalah ini.
Tetapi kini, analis mulai bertanya-tanya. Apakah Ma memiliki masalah “topi merah” yang terselubung?
Jika ya, maka masalah bagi Ma bukan sekadar gertakan berujung kejatuhan saham sebesar 4,4%.
Pertama, bisa dipastikan bahwa Ma tak secara terbuka mengenakan “topi merah.” Sekarang ini, istilah tersebut mengacu pada wiraswasta yang bergabung dengan Partai Komunis. Atau, pengusaha yang terkait pemerintahan maupun perusahaan milik Beijing.
Ma sempat sebentar bekerja di sebuah kementerian di Beijing. Namun, tak jelas juga apakah Ma memang anggota Partai Komunis. Seorang juru bicara Alibaba menolak berkomentar.
Bruce Dickson, profesor George Washington University yang menulis seluk-beluk wiraswasta Cina, menyebut Ma sebagai pebisnis mandiri yang bonafide. Ia membangun “bisnis dari dasar, dengan kekuatan sendiri, tanpa dukungan dan koneksi pemerintah.”
Bagaimanapun, saat-saat ini adalah waktu yang berbahaya bagi seorang pengusaha jika ingin terjun dalam permainan politik Cina. Sebagai bagian dari gerakan pemberantasan korupsi, Presiden Cina Xi Jinping membidik pejabat-pejabat korup dan para pengusaha yang terkoneksi dengan mereka.
Alibaba sendiri menyangkal adanya agenda politik dalam bisnis mereka. “Kami tak memiliki [agenda politik] di masa lampau, sekarang, dan tak membutuhkannya di masa depan,” demikian pernyataan Alibaba tahun lalu.
Tetap saja, masalah barang palsu di situs-situs Alibaba adalah titik lemah bagi Ma. Ada banyak musuh yang siap menerkam: rival bisnis yang iri, badan regulator yang ingin membuat gebrakan, pejabat yang gelisah melihat seorang taipan yang tidak bisa dikendalikan.
Barangkali Ma memang tak mengenakan “topi merah.” Namun, ia sudah begitu terekspos.(lilian/indo.wsj/bhc/sya) |