JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menyatakan bahwa batalnya penetapan tersangka baru oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi Hambalang dan wisma atlet, bukan akibat perpecahan pimpinan lembaga tersebut. Hal itu justru disebabkan pimpinan KPK sedang tidak bersamaan atau satu forum
"Saya tahu (isu perpecahan) itu tidak benar. Saat itu kan Abraham sedang (ibadah) umroh (ke Arab Saudi) dan (saat itu) tepat libur Imlek juga. Logikanya seperti itu," kata Yunarto dalam sebuah acara diskusi politik yang berlangsung di Jakarta, Sabtu (28/1).
Menurut dia, penilaian perpecahan di tubuh pimpinan KPK itu, tanpa dilandasi alasan yang kuat. Batalnya penetapan tersangka baru tersebut, karena KPK merasa kesulitan dengan kurangnya alat bukti dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Pasalnya, jika sudah menetapkan tersangka, KPK tidak bias mundur lagi atau menghentikan kasus tersebut.
"KPK ini (tidak memiliki wewenang menghentikan perakaara atau SP3) bukan seperti kejaksaan yang bisa mundur satu langkah (menghentikan perkara), setelah menetapkan tersangka. Artinya, KPK harus sangat hati-hati. Dalam perjalanannya, orang yang sudah ditetapkan tersangka oleh KPK, itu pasti selesai," jelas Yunarto.
Belum adanya tersangka baru dalam kasus Hambalang dan wisma atlet tersebut, imbuh dia, bukan berarti KPK takut. Lembaga tersebut merasa harus memiliki cukup bukti untuk bisa benar-benar menjerat tersangka baru. Tapi dalam menetapkan tersangka, KPK harus memperhatikan momentum yang tepat. Hal ini akan berpengaruh terhadap citra dan kepercayaan public terhadap KPK.
"Saya masih percaya dengan KPK. Untuk menetapkan tersangka kasus tersebut, sepertinya hanya tinggal menunggu bukti yang cukup kuat untuk bisa menjeratnya. Tapi diharapkan tidak terlalu lama, karena akan berimbas pada kepercayaan masyarakat dan pencitraan KPK,” tandasnya.
Pada bagian lain, Yunarto Wijaya meminta KPK melakukan pengusutan untuk mengungkap dugaan korupsi dalam proyek renovasi ruang rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang bernilai Rp 20,3 miliar. Lembaga ini tidak sepatutnya berhenti dengan hasil pemeriksaan dari Badan Kehormatan (BK) DPR saja.
"KPK harus turun tangan mengusut untuk mendapatkan temuan yang sifatnya berkaitan dengan tindak pidana penyelewangan anggaran. Apa yang didapat BK DPR dalam pemeriksaan sejumlah petinggi Dewan akan menjadi alat bukti baru atau menjadi daftar untuk melanjutkan penelusuran lebih lanjut,” tutur Yunanto. (dbs/spr)
|