Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
White Crime    
Kasus BLBI
Ironi KPK, Penutupan Kasus BLBI dan Century Bukti Negara Kalah dengan Koruptor
2016-09-16 09:15:22
 

Ilustrasi. Gedung baru KPK.(Foto: BH /mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi III DPR RI menilai ditutupnya dua skandal keuangan besar yaitu korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Century merupakan bukti bahwa negara telah kalah dengan koruptor.

"Saya cukup terkejut kenapa KPK yang mempunyai kewenangan sebesar itu tidak mampu mengusut BLBI dan Century, yang banyak merugikan keuangan negara," kata anggota Komisi III Nasir Djamil dari fraksi PKS di komplek parlemen, Jakarta, Kamis (15/9).

Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menutup perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI yang dikeluarkan pemerintah pada 2002. Padahal, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memastikan bahwa negara mengalami kerugian sebesar Rp 138,4 triliun atau 95,878 persen dari total dana BLBI yang dikucurkan pada posisi per tanggal 29 Januari 1999.

Selain itu, KPK juga menutup skandal Bank Century pada dua hal yaitu perkara pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dengan total kerugian negara RP 689 miliar, dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang membuat negara mengalami kerugian Rp 6,762 triliun.

"Jadi, menutup kasus itu sebenarnya menunjukkan bahwa KPK kalah dengan koruptor," ujar Nasir.

Oleh karena itu, lanjutnya, Komisi III segera memanggil pihak KPK untuk memertanyakan dasar hukum yang digunakan dalam mengambil langkah tersebut. Sehingga dapat dinilai apakah patut dan layak untuk menutup kasus-kasus itu.

"Jangan sampai kemudian KPK itu tumpul untuk hal-hal yang besar tapi tajam yang kecil," beber Nasir.

Ditambahkannya, sejauh ini, KPK beralasan tidak memiliki dua alat bukti yang cukup untuk penetapan tersangka kasus BLBI. Sedangkan untuk skandal Bank Century, KPK beralasan belum memiliki temuan baru atau novum untuk melanjutkannya, pasca vonis 15 tahun penjara bagi Deputi Gubernur BI Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya.

Sementara, pada tajuk Koran Sindo berjudul Ironi KPK 2015-2019, Jumat (16/9), kabar tak sedap menyeruak dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini terkait dengan adanya dugaan lembaga tersebut menutup buku tiga megakasus korupsi. Walaupun belum ada keputusan resmi, bahkan beberapa pimpinan KPK membantah informasi tersebut, dalam sejumlah forum informal dengan kalangan media, mereka telah memberi pesan yang sangat kuat atas langkah tersebut.

Di antara megakasus korupsi dimaksud adalah kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang dikeluarkan pemerintah pada 2002 dan dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik atau lebih dikenal dengan Bailout Century.

Jika benar kabar tersebut, tentu patut disayangkan. Bagaimana tidak, harapan publik akan terungkapnya kasus tersebut secara utuh berhenti sebatas angan. Darurat korupsi pada akhirnya masih menjadi mimpi buruk yang membayangi bangsa ini ke depan.

Pada kasus BLBI, misalnya. Dengan keluarnya SKL BLBI, yang diawali dengan keluarnya Inpres Nomor 8/2002, negara mengalami kerugian Rp138,4 triliun atau 95,78% dari dana yang dikucurkan pemerintah untuk 48 bank penerima pascakrisis moneter 1998. SKL menjadi polemik karena sejumlah debitur sudah dianggap melunasi seluruh utangnya, meski baru membayar 30% dalam bentuk tunai.

Begitu pun kasus Century. Pada kasus pemberian fasilitas FPJP negara mengalami kerugian Rp689 miliar, sedang untuk penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik mengakibatkan negara mengalami kerugian Rp6,762 triliun. Mengapa KPK mengambil langkah kontroversial tersebut? Berdasarkan informasi, pimpinan KPK periode 2015-2019 bersepakat bahwa pertanggungjawaban pidana harus dilihat dengan pengembalian kerugian negara. Dengan pertimbangan ini berarti pimpinan menganggap kelanjutan kasus BLBI dan Century tidak akan berdampak pada pengembalian kerugian negara.

Bila benar, alasan tersebut mudah dipatahkan. KPK seolah menafikan fakta adanya kerugian triliunan rupiah seperti hasil audit BPK dan BPKP tersebut. Hal ini selaras dengan pertanyaan bagaimana mungkin KPK akan mampu mengembalikan kerugian negara jika tidak melanjutkan penyidikan maupun penyelidikan. Apalagi, pertimbangan pengembalian uang negara tidak termasuk dasar hukum penghentian perkara. Di sisi lain, pada kasus Century, misalnya, sudah ada putusan yang menyebut Budi Mulya merugikan negara bersama-sama pihak lain.

Berdasarkan fakta tersebut, sangat dipahami sejumlah kalangan bereaksi keras atas informasi KPK menghentikan megakasus tersebut. Selain karena argumentasi hukumnya lemah, mereka melihat KPK periode 2015-2019 ini tidak memiliki kompetensi sehingga dengan mudah menyerah dalam menghadapi kasus rumit. Selain itu, tudingan KPK periode ini tunduk pada tekanan politik tak kalah masuk akalnya, seperti sikap yang ditunjukkan KPK yang sejak awal sudah serta-merta menyimpulkan tidak ada kerugian pada kasus RS Sumber Waras.

Tudingan ada tekanan politik ini sangat mudah dipahami mengingat dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung menyeret rezim pemerintahan. Sikap pimpinan KPK saat ini sangat berseberangan jika dibandingkan dengan era Antasari Azhar yang memulai penyelidikan, dan era Abraham Samad yang sudah memanggil sejumlah pejabat kunci seperti mantan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta.

Begitu pun pada kasus Century. KPK era Abraham Samad menunjukkan keberanian mengusut dan menyidik kasus ini. Abrahaman Samad dkk saat itu sangat trengginas, seolah tidak gentar sedikit pun menghadapi rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), termasuk kemudian menjerat beberapa tokoh kunci Partai Demokrat dan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.

Kalau demikian yang terjadi, tentu ironis bagi KPK era 2015-2019. Ibaratnya, KPK pimpinan Agus Rahardjo sudah kalah sebelum berperang. Padahal, semestinya mereka berjuang mati-matian menegakkan hukum dan rasa keadilan untuk mewujudkan filsafat Fiat justitia ruat coeleum, bukan memilih bertekuk lutut pada kepentingan politik dan kekuasaan. Kondisi demikian menjadi lebih ironis jika mengingat saat ini hanya KPK lembaga penegak hukum yang dianggap masih berwibawa dan menjadi tumpuan harapan publik untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang bebas dari korupsi.(poe/sidonews/wah/rmol/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Kasus BLBI
 
  Mega Skandal Korupsi Perbankan di Vietnam Mirip Kasus BLBI di Indonesia
  Bukan Isapan Jempol, Ketua TUN MA Buktikan Tekad Bantu Kembalikan 2 Triliun Dana BLBI
  Ketua Kamar TUN: Pengadilan Jangan Cari-cari Kesalahan Satgas BLBI
  Pernyataan Hakim Agung Yulius jadi Penunjuk Arah Kerja Satgas BLBI dan Pansus DPD
  Satgas BLBI Harus Tagih Dana BLBI Rp110,4 Triliun
 
ads1

  Berita Utama
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

 

ads2

  Berita Terkini
 
Jokowi Akhirnya Laporkan soal Tudingan Ijazah Palsu ke Polisi, 5 Inisial Terlapor Disebut

Polri Ungkap 72 Kasus Destructive Fishing, Selamatkan Kerugian Negara Rp 49 Miliar

3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2