JAKARTA, Berita HUKUM - Alasan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Mandiri untuk Pemilu Demokratis (KMPD) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan kontrak kerjasama dengan asing, karena dikhawatirkan menodai kemandirian KPU sendiri.
Selain itu, kerjasama dengan asing dalam proses Pemilu juga menciderai konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal itulah yang diungkapkan, Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Girindra Sandino ketika jumpa pers di Media Center KPU Pusat, Jakarta, Kamis (23/5).
"Sudah ada pada konsititusi kita di UUD 45 Pasal 22 ayat 5 yang menegaskan KPU bersifat nasional tetap dan mandiri. Nah mandiri ini bersifat independen dan lepas dari intervensi dalam maupun luar negeri," kata Girindra.
Bahkan, dalam UU Pemilu lanjut Girindra, disebutkan pemilu merupakan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dengan asas rahasia bebas, jujur dan adil. Kerahasiaan tersebut yang harus dijaga. Karena kerjasama dengan asing berarti ada kerahasiaan yang dijual kepada mereka.
"Maka kerjasama dengan asing ini, KPU telah menciderai legitimasi kedaulatan Indonesia. Dan menciderai netralitas KPU itu sendiri. Dan dampaknya penyelenggara pemilu kita, jadi manja terhadap asing. Padahal kita bisa mandiri," tukas Girindra.
Selain itu, ada pertanyaan besar para aktivis Pemilu tersebut. Dimana, para Komisioner KPU tersebut diduga rela berbuat bohong dalam sidang kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam hal penandatanganan MoU dengan The International Foundation for Electoral System (IFES).
Menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma), Said Salahudin bahwa MoU tersebut terjadi pada bulan Oktober 2012. Namun, untuk menghindari disebut melanggar kode etik. Husni Kamil dan kawan-kawan memanipulasi tanggal MoU yang disebutkan oleh KPU pada tanggal 12 Agustus 2012.
"Sehingga DKPP memutuskan tidak bisa mengeluarkan keputusan sanksi, dan hanya meminta untuk membatalkan kerjasama tersebut," ungkap Said.(bhc/riz)
|