JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintah Indonesia meraih kemenangan atas perkara gugatan yang dilayangkan oleh Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd., di forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes ("ICSID"), berkedudukan di Washington D.C. Amerika Serikat.
Hal itu disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona H. Laoly, didampingi Direktur Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Cahyo R. Muzhar dan Tim, di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jalan HR.Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Senin (25/3).
Diketahui, setelah pertarungan selama 6 tahun dalam perkara No. ARB/12/14 and ARB/12/40, Komite ICSID yang terdiri dari Judge Dominique Hascher, Professor Karl-Heinz Bockstiegel dan Professor Jean Kalicki ("Komite ICSID") akhirnya mengeluarkan putusan yang memenangkan Republik Indonesia dengan menolak semua permohonan annulment of the award yang diajukan oleh Para Penggugat.
"Kemenangan yang diperoleh Pemerintah Indonesia dalam forum ICSID ini bersifat final, berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh Para Penggugat," kata Menkumham Yasonna.
"Indonesia terhindar dari klaim sebesar 1,3 miliar dollar AS atau sebesar Rp18 triliun," tukasnya.
Komite ICSID yang diwakili Dominique Hascher, Professor Karl- Heinz Bockstiegel serta Professor Jean Kalicki menolak seluruh permohonan annulment of the award yang diajukan penggugat.
Dalam hal ini, Menkumham Yasonna dan Dirjen AHU Kemenkumham, Cahyo Muzhar dan tim Ditjen AHU bertindak sebagai pengacara negara.
"Kemenangan ini juga memberi sinyal pada investor-investor nakal yang tidak berniat baik saat akan berinvestasi di Indonesia," imbuh Yasonna.
Dirjen AHU, Cahyo Muzhar mengatakan, neraca kedua perusahaan saat ini menunjukkan tidak mampu bayar.
"Tapi tidak pailit ya. Dan mereka ada third party funding. Ini yang akan kita bicarakan lagi," ujar Cahyo.
Untuk diketahui, Perkara ini bermula saat dua penggugat Churchill Mining Plc (Inggris) dan Planet Mining Pty Ltd (Australia) menuding pemerintah Indonesia, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, melanggar poin perjanjian bilateral investasi pada 2010.
Tudingan itu muncul setelah Pemkab Kutai Timur mengekspropriasi 350 kilometer persegi lahan tambang batubara yang terletak di Kecamatan Busang.
Kebijakan ekspropriasi dilakukan dengan mencabut Kuasa Pertambangan (IP) atau Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi anak perusahaan Churcil Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd.
Dua perusahaan tambang asing tersebut menuding, melalui ekspropriasi, mereka merugi. Mereka kemudian mengajukan gugatan sebesar 1,3 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 18 triliun.
Pada 6 Desember 2016, tribunal arbitrase sudah memutuskan menolak gugatan dua perusahaan itu. Bahkan, arbitrase mengabulkan permohonan Indonesia agar penggugat membayar penggantian biaya perkara, yakni sebesar 9,4 juta dolar AS. Nilai penggantian itu merupakan yang terbesar sepanjang sejarah putusan dari ICSID.
Tidak terima pada putusan, dua perusahaan itu kembali mengajukan permohonan pembatalan putusan itu ke Konvensi ICSID.
Akhirnya, melalui perjuangan panjang, tanggal 18 Maret 2019, Komite ICSID menegaskan kemenangan Pemerintah Indonesia lewat sebuah keputusan final dan berkekuatan hukum tetap (decision on annulment).
"Ini sekaligus bukti bahwa pemerintah Indonesia memiliki kedaulatan di dalam pengelolaan pada sektor pertambangan," pungkasnya.(bh/amp) |