JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan persoalan PT Blue Bird yang akan melakukan penawaran saham atau Initial Public Offering (IPO) terlepas dari etis atau tidak etis jika melihat dari persoalan hukum yang belum tuntas antara Blue Bird dan salah satu pemegang saham PT Blue Bird Taksi yaitu Mintarsih A. Latief.
"Itu terlepas dari etis atau nggak etis. Kita nggak bisa kondem, karena pihak pembeli nanti yang akan menilai. Etis nggak etis ini kan kecuali ada aturannya," ujar Sofjan kepada wartawan di Jakarta, Minggu (28/9).
Lebih lanjut pakar ekonomi yang juga seorang pengusaha ini mengatakan,
persoalan ini tergantung dari penilaian Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Kita nggak tahu siapa yang salah dalam persoalan ini, kita serahkan
kepada OJK saja," sambungnya.
Sementara pihak OJK melalui Muliaman Hadad tidak bisa dihubungi,
sedangkan Deputi Komisioner Kehumasan OJK Lucky Fathul tidak bisa memberikan tanggapannya terkait kebijakan OJK tanpa mempertimbangkan permasalahan hukum Blue Bird yang masih bergulir di pengadilan tinggi.
Seperti diketahui Blue Bird mulai melakukan pre marketing dalam rangkapersiapan untuk melakukan penawaran umum saham perdana/IPO, dimana perusahaan operator taksi ini melakukan IPO setelah pemilihan Presiden pada Juli 2014 untuk mendapatkan keuntungan dari sentimen positif bursa saham Indonesia. Menurut sumber yang dikutip dari laman FinanceAsia, Jumat (19/9), jumlah saham yang akan ditawarkan ke publik sekitar 20 persen-25 persen. Total dana dana yang akan diraup dari IPO sekitar US$ 300 juta-US$ 400 juta atau sekitar Rp 3,59 triliun-Rp 4,79 triliun (asumsi kurs Rp 11.987 per dolar Amerika Serikat).
Persoalan IPO PT Blue Bird ini menyeruak kembali karena taksi “burung biru” ini masih memiliki beberapa persoalan hukum. Seperti yang dituturkan salah satu pemegang saham PT Blue Bird Taksi, Mintarsih A.Latief kepada wartawan beberapa waktu lalu, Pihaknya tengah dalam tahap pendaftaran menggugat Merk dan Logo yang sekarang digunakan PT Blue Bird (tanpa kata Taksi). Mintarsih menegaskan gugatan ini bukan tanpa alasan. Diungkapkannya, Sejak tahun 1972 hingga kini PT Blue Bird Taksi belum pernah merubah apalagi memberikan ijin penggunaan Merk dan Logo Burung Biru tersebut kepada perusahaan lain, Sementara PT Blue Bird (tanpa kata Taksi) yang didirikan Purnomo Prawiro pada
tahun 2001 diduganya menggunakan Merk dan Logo tersebut tanpa seijin
pemegang saham lainnya di tubuh PT Blue Bird Taksi.
Menurut Mintarsih, penggunaan Merk dan Logo serta Fasilitas milik PT
Blue Bird Taksi oleh PT Blue Bird (tanpa kata Taksi) mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit yang berujung pada pengkerdilan usaha PT Blue Bird Taksi. Betapa tidak, dia menduga karena PT Blue Bird (Tanpa kata Taksi) hingga kini beroperasi dengan sarana dan fasilitas milik PT Blue Bird Taksi termasuk nomor telepon order, membuat PT Blue Bird Taksi kehilangan potensi order/ pesanan untuk armadanya. Jangankan Masyarakat luas, bahkan sebagian supir armada taksi PT Blue Bird
diyakini Mintarsih tidak akan bisa membedakan mana armada PT Blue Bird Taksi dan mana yang armada PT Blue Bird.
Mintarsih menambahkan, Purnomo Prawiro diduga menggunakan sebagian aset PT Blue Bird Taksi sebagai Modal Usaha Pendirian PT Blu Bird (tanpa kata Taksi).
Mintarsih menegaskan tidak mempermasalahkan IPO bila dijalankan dengan benar dan penuh tanggung jawab. Dia menyayangkan resiko investasi yangtidak sedikit akan dirasakan calon Investor PT Blue Bird apabila tetapmenafikan persoalan hukum yang dihadapi Blue Bird saat ini.
Mintarsih menambahkan, selain persoalan penggunaan Merk dan Logo PT Blue Bird Taksi yang tengah dalam tahap pendaftaran gugatan, dia juga
akan segera melaporkan hal ini ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) dalam upaya mencegah kerugian besar yang bisa timbul di tengah masyarakat.(bch/sya) |