JAKARTA, Berita HUKUM - Menelisik hasil putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI), Terpidana Labora Sitorus selaku pemilik PT Rotua di kota Sorong Provinsi Papua Barat, "yang hingga saat ini PT Rotua masih terus beroperasi padahal sudah dilarang untuk menerbitkan dokumen penatausahaan hasil hutan," ujar Fahmi Hafel Sip, Direktur Eksekutif IDM (Indonesia Development Monitoring) berdasarkan keterangan pers pada pewarta BeritaHUKUM di Jakarta, Rabu (20/4).
Labora Sitorus selaku pemilik PT Rotua yang merupakan pemegang industri lanjutan yang terbukti bersalah melakukan antara lain, tindak pidana pembalakan liar dan sekarang sedang menjalani hukuman penjara.
Padahal, jika ditinjau sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.41/Menhut-II/2014 yang disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Walikota Sorong melalui surat pada tanggal 25 Februari 2015 lalu, sudah dilarang untuk menerbitkan dokumen.
Fahmi Hafel merasa kecewa, dimana PT Rotua masih terus beroperasi dikarenakan pasokan bahan bakunya di bagian hulu masih terus mengalir dengan memanfaatkan izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK). "Terlebih untuk memenuhi pembangunan fasiltas umum kelompok masyarakat setempat dan untuk memenuhi keperluan individu yang izinnya diberikan oleh Bupati melalui Peraturan Daerah No 6 tahun 2008," ungkapnya.
Disamping itu, sekonyong-konyong menurut Direktur Eksekutif IDM tersebut, dari pihak Bupati Sorong juga mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) No 400 tahun 2008 tentang Tempat Penampungan Kayu Terdaftar (TPKP) Hasil Hutan Kayu Masyarakat di Kabupaten Sorong dimana TPKT wajib untuk membeli seluruh kayu hasil produksi IPHHK.
Yang menjadi kendala dan masih mengganjal setelah dikaji ulang lebih jauh bahwasanya kedua peraturan tersebut ada indikasi bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2007 Jo. No 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
"Pertentangan tersebut adalah bahwa, di dalam PP No 6 tahun 2007 pasal 45 disebutkan pemungutan hasil hutan kayu dari hutan alam pada hutan produksi diberikan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas umum pada kelompok masyarakat setempat paling banyak 50 meter kubik (m3) dan tidak untuk diperdagangkan atau untuk memenuhi kebutuhan individu paling banyak 20 meter kubik (3) dan tidak untuk diperdagangkan," jelas Fahmi Hafel, Sip, mencermati.
Faktanya seperti yang berlangsung hingga saat ini, kayu dari hasil IPHHK tersebut bebas diperdagangkan antar kabupaten/kota, antar provinsi/pulau dan TPKT dengan leluasanya membeli seluruh kayu hasil produksi kayu IPHHK untuk kemudian dijual kepada PT Rotua. "Praktek ini secara terang dan nyata bertentangan dengan PP yang melarang memperdagangkan hasil hutan kayu yang berasal dari IPHHK," ujarnya.
Atas dasar investigasi dan laporan masyarakat Kab Sorong, bahwasanya aktifitas PT Rotua sangat merugikan negara dan masyarakat Kabupaten Sorong tersebut. Dan sesuai dengan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan Peraturan Daerah dan Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi, maka Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Dirjen PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah bersurat kepada Gubernur Provinsi Papua Barat, pada tanggal 17 Maret 2016 untuk mencabut kedua peraturan tersebut.
"Adalah waktu yang tepat bagi Gubernur Papua Barat untuk secara tegas menghentikan kegiatan pembalakan kayu liar dengan modus seperti diatas," tegas Fahmi Hafel.
Soalnya, dampak kerusakan hutan yang ditimbulkan jauh lebih besar, serta merusak masa depan generasi yang akan datang dibandingkan dengan keuntungan yang hanya dinikmati segelintir orang. "Pencabutan Perda ini selaras dengan instruksi Presiden Ir. Joko Widodo untuk mencabut sekitar 3.200 Perda bermasalah, yang ditargetkan harus selesai pada bulan mei mendatang," tambahnya lagi.
Indonesia Development Monitoring mengemukakan, jika tak kunjung mencabut PERBUP dan PerKab yang merugikan negara, kedepannya akan melaporkan Gubernur dan Bupati Sorong ke Ombudsman jika tidak patuh terhadap perintah Undang-undang untuk mencabut kedua peraturan tersebut, yang melindungi praktek illegal logging oleh PT Rotua.
"IDM juga akan menyurati Kemendagri agar mencabut Perbup dan Perkab Kabupaten Sorong yang sudah merugikan Negara kisaran ratusan miliar," jelas Fahmi Hafel,
"Selain ke Ombudsman nantinya juga akan melaporkan Bupati Sorong ke KPK karena diduga ada kaitannya antara penerbitan izin dengan praktek illegal logging PT Rotua, serta pencucian uang hasil illegal logging," tandas Fahmi Hafel, Direktur Eksekutif IDM.(bh/mnd)
|