JAKARTA, Berita HUKUM - Terkait adanya upaya revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK), lembaga anti rasuah Indonesia yang kini telah banyak mendapat apresiasi dan penghargaan berbagai kalangan masyarakat, bahkan dari negara-negara di dunia karena prestasi yang telah diraihnya yang terus sukses dapat menghajar dan menangkap ratusan tersangka para koruptor, siapapun koruptor baik Menteri, Gubernur, Anggota DPR, Jenderal dll, di Indonesia, kini malah yang terjadi sungguh aneh dengan adanya rencana DPR RI dan Pemerintah untuk merevisi UU KPKi. Hal ini dirasa mengancam KPK dan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Berbagai kalangan dan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Faris melakukan jumpa pers dan mengatakan bahwa, jika revisi UU KPK tetap diteruskan oleh pemerintah dan DPR, nantinya akan ada berbagai isu krusial menimpa KPK, ungkap Donal, saat jumpa pers di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan Minggu (11/10).
Namun Donal Faris tetap yakin, sejauh ini apa yang mereka upayakan mewakili rakyat banyak. dimana ICW membuat petisi dan banyak yang tanda tangan di dukungan #saveKPK dan #GAK serta #JANGANBUNUHKPK diapresiasi dan direspon dengan baik. Menurutnya, nampak pemisahan dimana tindak pidana korupsi bukan bagian dari penegakan hukum, lalu upaya KPK dalam pembatasan korupsi hanya berada di bidang pencegahan saja, kata Donal.
"12 tahun itu bukan penguatan KPK justru akan membunuh KPK. Jika DPR memang mendukung, ya buat saja permanen," ujarnya lagi.
Berdasarkan revisi RUU KPK tersebut, pegawai KPK harus terdiri dari PNS, Polri dan Kejaksaan. "RUU KPK seraya menutup ruang KPK untuk merekrut pegawai sendiri. Apalagi soal penyidikan yang harus mendapat izin Polri dan Kejaksaan terlebih dahulu," jelas Donal Faris, Minggu (11/10).
Selain itu, Perihal perizinan SP3 (Surat Pernyataan Pemberhentian Perkara) dinilai mengurangi kualitas penyidikan dari KPK, karena standarnya dipertanyakan.
Donal menyatakan bahwa, KPK akan kehilangan 'taring' nya saat RUU KPK benar disahkan, karena hanya dapat melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Lebih lagi jika ingin melakukan penyadapan harus mendapat izin pihak pengadilan.
"Parah lagi dalam RUU KPK, kewenangan KPK hilang untuk memberi pendidikan pencegahan dini korupsi. Padahal pendidikan antikorupsi penting bagi negara," tungkasnya.
Adapun yang turut hadir saat jumpa pers bersama dari pantauan pewarta BeritaHUKUM.com di lokasi tampak, Betty Alisjahbana (Pansel KPK 2015), Dahnil Anzhar Simajuntak perwakilan Ketua Umum (Ketum) PP Pemuda Muhamadiyah, Romo Benny Susetyo selaku Rohaniawan, dan Bambang Widodo Umar akademisi Universitas Indonesia serta para awak media elektronik, cetak, dan media online yang hadir di kantor ICW terkait pernyataan ICW, perihal revisi RUU KPK pada, Minggu (11/10).
Sementara, Betty Alisjahbana selaku tim pansel KPK 2015 merasa revisi RUU KPK belum 'urgent' saat ini, sebaiknya Undang-undang lain dulu diperbaiki, seperti UU KUHP, KUHAP. Supaya tidak bolak balik, karena UU KPK ada referensinya ke KHUP, KUHAP, serta Tipikor.
Padahal menurut Betty, subjek Hukum adalah penyelenggara negara. "PR kita masih panjang mengatasi Korupsi ini. Semua padahal telah termaktub dalam TAP MPR 8 tahun 2001, nomor 6. Penegakan Hukum untuk kasus Korupsi seperti di Singapore, Hongkong," ujarnya.
Sedang permasalahan mengenai pengawasan bagi lembaga antirasuah atau KPK tersebut menurut hemat Betty Alisyahbana bahwa, lembaga antiruasa (KPK) harus independen, dimana yang berfungsi mengawasi adalah publik, jelasnya.
"Andai tidak berjalan dan tindakan oleh para pimpinan KPK menyimpang, kemudian dibentuklah komite etik yang terdiri dari dewan penasihat, dan komponen atau tokoh masyarakat," paparnya.
Beliaupun membeberkan bahwa, disamping itu KPK diaudit setiap tahun, jadi kalo ada masalah akan ditindaklanjuti. "Jika ada pidana akan ada yang review oleh Komite Etik, dan prosesnya sejauh ini semua berjalan," terangnya.
Sementara itu, Dahnil Anzar Simanjuntak Ketum PP Pemuda Muhammadiyah mengatakan, "Jika tidak ingin disadap, jangan jadi pejabat negara/pemerintahan, jadi saja akademisi atau dosen seperti Bpk Widodo Umar atau Ibu Betty. Terlebih lagi seperti layaknya Romo Benny Susetyo selaku Rohaniawan," tegas Dahnil Anzar, karena kecewa pada revisi RUU KPK perihal izin penyadapan.
Lalu, Prof. Dr Bambang Widodo Umar selaku akademisi dari Universitas Indonesia yang juga selalu terlihat aktif mendukung KPK ini, turut memberikan statmentnya, dimana upaya revisi UU KPK ini merupakan upaya pelemahan agenda pengentasan korupsi. Menurutnya hal ini sudah berlangsung secara masif dan sistematis!.
"Dengan adanya revisi UU KPK ini menjadikan usaha memasukan korupsi sebagai pidana biasa, terlihat sekali arahnya. Dengan kemudian KPK jika sudah dalam KUHP bukan extraordinary crime, menjadi biasa," ujarnya, yang menduga indikasi arah pelemahan KPK.
"Padahal pas jaman SBY korupsi masuk dalam "ExtraOrdinary Crime", soalnya proses pembunuhan dan perampasan hak rakyat itu mati perlahan dan tidak kerasa. Itulah yang dilakukan oleh koruptor," jelasnya.
Sementara, kesempatan yang sama Romo Benny Susetyo selaku Rohaniawan, mengutarakan dimana memang dalam sejarah di negara kita 'korupsi' selalu dilegalkan dengan kebijakan.
Namun, sejatinya secara moral, para pengambil keputusan, kehendak publik menginginkan pemerintah bersih dan transparan, maka perlu perangkap yang membuat efek jera, lewat penangkapan. "Manusia butuh diawasi, kecendrungan kolektif, kecenderungan manusia berbuat salah selalu ada," ujar Romo Benny.
Untuk itu, "Ditinjau dari kultur kekuasaan kita yang Korupsi, Ini masalah. Jika pak Jokowi ingin Pemerintahan dan revolusi mental dijalankan. Sebenarnya kegaduhan terjadi karena terombang-ambing," ujarnya.
Penting untuk dicermati, kedepannya banyak kepala daerah melakukan pembangunan. Kemungkinan karena takut diawasi, bangsa ini yang seolah-olah menghambat dari pertumbuhan. "Perlu ada shock teraphy, dimana semua sudah tahu korupsi itu tidak disukai masyarakat," katanya.
"Mengapa bangsa ini tidak mampu menjadi bangsa besar, karena korupsi," imbuhnya mengingatkan.
Menurut Romo Benny, jika ada persoalan terjadi di dalam KPK, seharusnya lembaga pengawas dalam KPK, bukan Revisi UU KPK itu yang menjadi persoalan. "Pak Jokowi sebagai Presiden yang dipilih rakyat, maka segeralah untuk mengambil tindakan kepada publik untuk mengambil tindakan menarik RUU revisi KPK," tegasnya.
"Sudah jelas revisi UU KPK ini bentuk ketakutan para pengambil kebijakan untuk terus melakukan korupsi. Makanya saya bilang tidak ada lagi moralitas di lingkungan pengambil kebijakan. Istana kek, parlemen kek, sama saja," ungkapnya.
"Revisi ini segera ditarik dan ditolak. Saya rasa momentum, biarkan publik seperti ini. Kita gagal membangun peradaban, dan ada persoalan. Jika ingin membangun peradaban. Revisi UU KPK kita akan terus menerus masuk dalam bangsa yang masuk dalam musuem," tutupnya.(bh/mnd) |