JAKARTA, Berita HUKUM - Revisi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) No. 52 dan 53 tahun 2000 berisi tentang kewajiban semua operator telekomunikasi untuk melakukan network sharing dan spectrum frekuensi yang sedang digulirkan Pemerintah melalui Kemenkominfo, menurut asumsi Koordinator Petisi 28, Haris Rusli mengatakan bahwa, Indikasinya akan melahirkan mafia Industri telekomunikasi.
Haris Rusli menilai, kalau nanti akan seperti ini caranya pratek mafia telekomunikasi bekerja, akibat diwajibkan tiap operator incumbent melakukan network sharing dan izin. "Penggunaan spectrum sharing yang bisa disewakan, hingga para 'mafia' akan dengan mudah meminta lisensi pengunaan frekuensi pada Menkominfo," ungkapnya kepada pewarta BeritaHUKUM.com, saat di kantor Rumah Amanah Rakyat di Jakarta, Rabu (23/11).
Lalu kemudian, lisensi itu tidak digunakan untuk melakukan usaha bisnisnya. "Namun, izin lisensi tersebut dijual belikan atau dipinjam pakai oleh perusahaan telekomunikasi yang sudah exis, yang masih membutuhkan tambahan frekuensi akibat tidak diberikan tambahan baru frekuensi. Padahal, spektrum frekuensi adalah bagian dari asset milik negara yang dilarang diperjualbelikan dan disewa. Atau dengan analogi lain, ibaratnya industri telekomunikasi akan sama dengan usaha pertambangan," cetusnya.
Pasalnya, sambung Haris yang berpandangan, dengan mudah izin lokasi dan izin usaha pertambangan didapat oleh perusahaan yang tidak punya modal menambang, lalu dijual pada perusahaan tambang lainnya yang memiliki modal menambang, dapat dijual putus atau dengan sistim bagi fee pemilik izin lokasi dan IUP yang dikeluarkan Bupati.
Selain itu, Koordinator Petisi 28 itu merasa, motif kedua (2) tidak perlu lagi perusahaan baru akan berinvestasi di Indonesia dalam bidang industri telekomunikasi seluler untuk membangun infrastruktur telekomunikasi guna menerima dan memancarkan frekuensi, cukup dengan menyewa operator yang eksis memiliki infrastruktur telekomunikasi.
"Akibatnya, tidak mungkin masyarakat mendapat layanan telekomunikasi murah dan berkualitas," jelasnya lagi, karena perusahaan itu hanya menyewa spektrum frekuensi, lalu loadnya akan berat hingga kualitas akan buruk.
Haris Rusli juga menilai, tidak mungkin harga jasa telekomunikasi perusahaan Penyewaan akan lebih murah dari harga dimiliki operator seluler yang jaringannya dan frekuensi di'sharing' atau dipakai oleh perusahaan seluler yang menyewa.
"Bisa terjadi potensi moral hazard di BUMN Telekomunikasi dan Kemenkominfo," terangnya, yang khawatir.
Dan selanjutnya yang sangat mungkin terjadi, yang akan dilakukan oleh para pemegang kebijakan di BUMN telekomunikasi dan Kemenkominfo dengan menggunakan klausul diwajibkannya operator menyewakan jaringan dan spektrum frekuensi pada perusahaan yang bergerak di bidang yang sama.
"Bisa terjadi akan ada perusahaan dalam perusahaan dan perusahaan dalam kementerian Kominfo yang dimiliki oknum pemegang kebijakan di BUMN Telekomunikasi dan Kominfo tidak jauh beda seperti usaha pertambangan," tandasnya mengkritisi.
Dan terakhir, patut dipahami pula alasannya yang ketiga (3), menurut Haris Rusli bahwa, dengan adanya Revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000, diatas nanti akan menjadi ladang baru para 'mafia telekomunikasi' di Indonesia. Malahan yang ada mengundang investor mengeruk kekayaan di bumi Indonesia lewat Penerapan kedua PP tersebut setelah direvisi nantinya.
"Karena itulah, kami turut mendesak Presiden untuk membatalkan Rencana Revisi kedua PP tersebut, karena jelas akan menimbulkan menimbulkan persaingan tidak sehat dalam Industri telekomunikasi," tegasnya mengingatkan, selain membahayakan Industri telekomunikasi nasional dan berdampak akan merugikan masyarakat serta negara.(bh/mnd) |