JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Majelis hakim menolak seluruh keberatan terdakwa Endro Laksono. Sebaliknya, majelis hakim menerima surat dakwaan penuntut umum, karena dianggap sudah memnuhi unsur-unsur yang ada dalam KUHAP. Dengan demikian, kasus korupsi mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pun dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara.
Demikian putusan sela yang disampaikan majelis hakim yang diketuai Pengeran Napitupulu dalam sidang perkara itu yang berlangsung di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (3/1). Penolakan eksepsi ini, didasari pertimbangan bahwa nota keberatan itu telah memasuki materi pokok perkara. Sedangkan dakwaan penuntut umum dianggap telah jelas, lengkap dan sesuai unsur-unsur KUHAP.
Majelis hakim juga memaparkan bahwa keberatan terdakwa yang menyatakan surat dakwaan JPU tidak cermat, karena terjadi kesimpangsiruan dan tidak teliti tidak dapat diterima. Sebaliknya, surat dakwaan sudah menguraikan secara jelas soal kronolis kasus ini. Hakim juga menolak keberatan terdakwa mengenai tidak diuraikannya kerugian negara maupun bukti transfer uang-uang tersebut.
"Bukti tranfer harus dibuktikan itu, sudah masuk dalam materi pokok perkara. Soal masalah ini, nantinya akan dibuktikan dalam persidangan perkara pokok materi. Atasa dasar ini, keberatan terdakwa tidak beralasan dan ditolak majelis hakim," kata hakim ketua Pengeran Napitupulu.
Atas pertimbangan ini, majelis hakim menetapkan sidang dilanjutkan untuk masuk materi pokok perkara. Hakim ketua pun memerintahkan JPU untuk menghadirkan saksi-saksi pada pemeriksaan lanjutan yang digelar pada Selasa (10/1) mendatang. JPU yang diketuai Surma pun menyanggupinya dan akan menghadirkan 3-5 saksi tiap persidangan.
Seperti diberitakan sebelumnya, mantan pegawai KPK Endro Laksono terancam hukuman 15 tahun penjara. Ia didakwa telah menggelapkan anggaran perjalanan dinas instusi tersebut sebesar Rp 388,8 juta. Terdakwa Endro yang dipecat dari KPK sejak 30 September 2010 lalu, sebelumnya bekerja sebagai staf administrasi muda Bidang Kesekretariatan dan Bendahara Pengeluaran pada Deputi Pencegahan KPK.
Dalam dakwaannya, JPU menyebutkan bahwa terdakwa Endro selama kurun waktu Februari-Desember 2009 secara berlanjut mencairkan dana Rp 1,5 miliar untuk biaya perjalanan bagi pegawai bagian Deputi Pencegahan KPK. Namun dari dana yang dicairkan, yang bisa dipertanggungjawabkan hanya Rp 935.950.713 (Rp 935,9 juta). Sedangkan Rp 235 juta diserahkan Endro kepada atasannya yang bernama Mamik Puji Lestari, sehingga yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sebesar Rp 388.875.367 (Rp 388,8 juta).
Ternyata, sebagian uang yang tidak bisa dipertangungjawabkan itu diserahkan Endro kepada seseorang bernama Syamsul Muarif. Penyerahan uang dilakukan secara tunai dan melalui transaksi perbankan. Untuk penyerahan tunai uang Rp 236.575.000 dilakukan di rumah Syamsu Muarif di Kampung Cipetir, Subang, Jawa Barat. Sedangkan Rp 152.000.500 diserahkan beberapa kali melalui 28 kali transfer ke rekening atas nama Lina Kartika alias Leni di BNI Cabang Subang.
Seharusnya, Endro mempertanggungjawabkan uang yangdicairkannya itu pada akhir 2009. Namun, terdakwa tidak pernah menyerahkan kembali uang tersebut dan tidak pernah menyampaikan laporan pertanggungjawabannya itu. Terdakwa pun diberhentikan dengan tidak hormat sebagai pegawai tetap KPK pada 30 September 2010.
Atas perbuatannya tersebut, terdakwa Endro dijerat dengan pasal 8 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 64 KUHP. Terdakwa Endero sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah menyalahkangunakan jabatan dengan menggelapkan uang dan terancam hukuman 15 tahun penjara.(dbs/spr)
|