JAKARTA, Berita HUKUM - Istilah judicial review atau biasa dikenal dengan sebutan pengujian peraturan perundang-undangan oleh pengadilan, didasarkan oleh negara yang berdasarkan prinsip kedaulatan hukum. Latar belakang judicial review, pertama kali terjadi pada kasus Marbury vs Madison di tahun 1803, yang kemudian pada awal abad ke-20 dikembangkan oleh pemikiran yang brilian oleh ahli hukum dan filsuf yang bernama Hans Kelsen, dimana dalam gagasannya menyatakan bahwa ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, yang mengemukakan tentang “Gugatan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi”, saat menjadi narasumber dalam kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Penanganan Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan RI Tahun 2013, bertempat di Gedung Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, Pasar Minggu, Selasa (30/4) pagi.
Lebih lanjut Hamdan menjelaskan, di Indonesia juga menganut teori Hans Kelsen, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini merupakan teori Hans Kelsen yang menganut hierarchy of law. “Dalam pengujian konstitusi ada 3 model, yaitu judicial review, constitusional complain, serta constitutional question. Akan tetapi di Indonesia hanya mengenal judicial review dengan bentuk pengujian yang terdiri dari uji formil dan uji materil. Untuk constitutional complaint dan constitutional question tidak merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,” urainya.
Selanjutnya menurut Hamdan, rakyat melalui produk parlemen merupakan hukum tertinggi, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 2. “Ketika MK menjalankan judicial review, inilah salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam negara yg memiliki prinsip konstitusi, kita harus percaya terhadap apa yang sudah diputuskan sebuah lembaga negara, dan kita harus menjalankan perintah konsitusi,” tegasnya.
Oleh karena itu, sambung Hamdan, putusan MK terletak pada kewibawaan. Maka haruslah ada kesadaran dari organ negara untuk menjalankannya. “MK tidak bisa memaksa sebuah pemerintah untuk menjalankan putusannya. Oleh karena itu, harus ada kesadaran dalam menjalankan konstitusi di setiap organ negara,” tandas Hamdan.
Di akhir pemaparannya, Hamdan mengatakan dalam perjalanan konstitusi di Indonesia, MK adalah wujud reformasi demokrasi sebagai pengawal ideologi negara. Sebagaimana diketahui, MKRI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan MKRI adalah menguji UU terhadap UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus perselisihan pemilu termasuk pemilukada. Sedangkan kewajiban MKRI adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara; korupsi; penyuapan; tindak pidana lainnya; atau perbuatan tercela, dan/atautidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.(ddy/mk/bhc/rby) |