JAKARTA, Berita HUKUM - Satpol PP DKI Jakarta bersama aparat gabungan TNI dan Polri akan menggusur bangunan liar di Jalan kepanduan II, Kalijodo, Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (29/2) besok. LBHJakarta menyebut penggusuran ini melanggar HAM.
LBH Jakarta berdalih, menemukan berbagai data antara di daerah Kalijodo terdapat ratusan rumah warga yang telah berdiri sejak puluhan tahun, tempat ibadah (mushola, gereja), tempat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kantor Rukun warga (RW).
"Berdasarkan dokumen yang diperlihatkan warga terdapat keterangan tertulis bahwa warga telah bermukim sejak tahun 1959 / 1960," terang Pengacara LBH Jakarta, Tigor Hutapea, Minggu (28/2).
Selain itu, kata dia, sebanyak 2.269 warga akan mengalami dampak dari penggusuran ini. Pemerintah, kata Tigor, tidak pernah melakukan upaya musyawarah kepada warga, tidak pernah menjelaskan tujuan dari penggusuran, tidak pernah memberikan informasi yang transparan tentang riwayat lahan dan kegunaan lahan pasca gusuran.
"Pemerintah tidak melakukan upaya pendataan secara komprehensif kepada seluruh warga untuk mendapat jumlah kepala keluarga, jumlah balita, anak-anak, remaja, lansia dan perempuan," ujar dia.
Tigor melanjutkan, fakta lainnya adalah pemberian surat peringatan penggusuran dilakukan dengan cara intimidasi dengan melibatkan ratusan gabungan aparat bersenjata (TNI, Polri dan satpol PP) yang berkeliling dipemukiman warga. Juga, Pemerintah daerah DKI melakukan tindakan intimidasi melalui aparat kepolisian yang dilengkapi dengan senjata dengan cara mendirikan pos penggusuran yang yang didirikan sejak tanggal 20 Februari dan beroperasi selama 24 jam.
"Pemerintah melakukan pelibatan TNI untuk melakukan proses persiapan penggusuran, berdasarkan undang-undang tugas fungsi pokok TNI adalah pertahanan negara bukan melakukan penggusuran," ucapnya.
Tigor menambahkan, terjadinya tindakan intimidasi aparat yang mendatangi rumah-rumah warga dan menanyakan kapan akan melakukan pengosongan dan pembongkaran rumah. Bahkan pemberian solusi sepihak dengan cara relokasi ke rumah susun sewa adalah tindakan pengusiran tanpa mendengar atau memperhatikan kepentingan warga, tindakan warga untuk pindah kerumah susun dikarenakan atas dasar keterpaksaan ditengah intimidasi yang dilakukan.
Berikutnya, tambah Tigor, kondisi rumah susun sewa yang tidak layak sebab tidak tersedianya air bersih, rumah susun yang belum selesai dibangun, jauh dari tranportasi publik, tempat berkerja.
"Akibat dari proses penggusuran paksa yang dilakukan warga kehilangan mata pencaharian, kehilangan hubungan sosial," cetus Tigor.
Tigor mengingatkan berdasarkan konvenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 11 tahun 2005 dalam melakukan penggusuran ada berbagai hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah wajib mengadakan musyawarah yang tulus kepada warga terdampak, wajib mencari semua kemungkinan alternatif penggusuran.
Di samping itu, Pemprov wajib memberikan pemberitahuan yang layak dan beralasan kepada warga terdampak, wajib melakukan konsultasi publik, wajib menyediakan informasi yang lengkap dan transparan tentang keguanaan lahan pasca penggusuran, wajib melakukan penilaian terhadap dampak penggusuran secara holistik dan komprehensif, wajib menunjukan bahwa tindakan penggusuran tidak dapat dihindari, wajib memastikan tidak ada warga yang mengalami penurunan kualitas kehidupan dari kehidupan sebelumnya digusur.
"LBH Jakarta menilai pemerintah DKI tidak melakukan tindakan-tindakan berdasar undang-undang nomor 11 tahun 2005 tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya," terang Tigor.
Oleh karenanya, sambung Tigor, tindakan pemerintah DKI Jakarta adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Pihaknya pun menuntut agar pemerintah DKI Jakarta menghentikan proses penggusuran paksa terhadap ratusan pemukiman.(ib/ds/rimanews/bh/sya)
|