JAKARTA, Berita HUKUM - Sejumlah Mahasiswa yang mengatasnamakan Gerakan Mahasiswa Pembebasan (GMP) melakukan aksi demonstrasi di trotoar jalan depan area Monas tak jauh dari gedung kementerian BUMN, Jumat (11/1).
Dalam orasinya GMP menilai bahwa sebuah alasan klasik kembali dicelotehkan, dimana pemerintah telah menanggung beban karena memberika subsidi kepada rakyat.
Sehingga atas dasar ini maka pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) dan PT PLN (Persero), menelurkan ketidakbijakan untuk menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) secara bertahap hingga 15 persen pada pelanggan rumah tangga diatas 900 VA dan beberapa sektor industri.
Kenaikan kali ni dilatarbelakangi asumsi pemerintah tentang terjadinya selisih antara pengeluaran dan pemasukan dalam sektor listrik. Berdasarkan sistim produksi listrik yang digunakan PLN saat ini, biaya pokok produksi (BPP) per kwh listrik adalah Rp 1.163 sedangkan pemasukan yang didapat dari TDL adalah Rp 632 per kwh.
Untuk menutup selisih inilah, pemerintah menyatakan melakukan subsidi listrik, yang pada RAPBN 2013 dianggarkan sebesar Rp 80,39 Triliun. Dan untuk menjaga agar subsidi tersebut tepat sasaran, maka pemerintah memutuskan kenaikan TDL sebesar 15 persen secara bertahap perkuartal selama tahun 2013.
"Sesungguhnya keputusan ini adalah buah dari paradigma ideologi kapitalisme liberal dalam mengurus masyarakat," kata Dimas Gusti Randa, koordinator aksi.
Selain itu menurut GMP, karena dalam ideologi batil ini, hubungan antara pemerintah dan rakyat dipandang menggunakan kacamata transaksional, alias bisnis, alias harus menghasilkan profit: tanpa memandang lagi imbasnya bagi kesejahteraan umat manusia.
Pemerintah tidak profesional dalam mengelola harta umat yang semestinya untuk dikembalikan kepada umat, justru menjadikan umat sebagai tumbal. Dan selanjutnya pemerintah melakukan pembodohan kepada umat berupa dalih subsidi untuk menutupi ketidakbecusannya.
Menurut GMP, Jika dilihat secara komprehensif, terjadinya selisih yang diistilahkan kerugian bisnis listrik ala pemerintah, disebabkan kekonyolan dalam sistim produksi. Sederhananya dalam sebuah sistim produksi, agar pemasukan lebih besar dari pengeluaran, maka ada 2 opsi yakni: mengurangi biaya produksi atau meningkatkan harga jual.
Terkait biaya produksi listrik, maka sangat mungkin untuk ditekan. Selama ini pemerintah dengan kekonyolannya justru memilih menggunakan BBM sebagai sumber energi listrik, padahal menurut pengamat energi, Kurtubi bahwa sumber energy batu bara bisa menghasilkan energy listrik yang bisa dijual seharga Rp 500 - 600/kwh.
Begitu juga dengan gas yang bisa dijual Rp 400-500/kwh. Seharusnya PLN sudah untung dan masyarakat tidak perlu disubsidi.
Dalam hal ini pemerintah beralasan bahwa pasokan batubara dan gas kurang, namun disatu sisi ada kontradiktif dimana pemerintah melakukan ekspor murah meriah batubara dan gas kepada asing. Pemerintah memaksa PLN membeli BBM seharga US$ 15 per metrik ton, sementara melego gas alam cair ke Cina seharga seperlimanya, US$ 3 per metrik ton.(bhc/mdb) |