JAKARTA, Berita HUKUM - Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Aceh, membuat keputusan yang mengejutkan dengan memenangkan gugatan perusahaan kelapa sawit PT Kalista Alam (PTKA) terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dimenangkannya PTKA dengan putusan Perkara No. 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 13 April 2018 itu, dinilai menentang putusan Mahkamah Agung No. 1 PK/Pdt/2015 terhadap PTKA, yang salah satu kewajiban setelah putusan tersebut adalah melaksanakan eksekusi.
Tahun 2014, PTKA dinyatakan bersalah karena melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya. Rawa Tripa, hutan gambut seluas 61.803 hektar yang terletak di Kabupaten Nagan Raya, Aceh itu merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang memasukkannya sebagai kawasan strategis berfungsi lindung.
Rawa Tripa merupakan satu dari tiga lahan gambut terluas di Aceh. Dengan kedalaman mencapai 12 meter, ia memainkan peran penting bagi penyerapan karbon di Aceh. Selain menyerap karbon, lahan gambut juga dapat mencegah banjir, mendukung nelayan dan menyediakan keragaman habitat bagi keragaman spesies.
Namun, tragedi menghampiri. Rawa Tripa yang dikenal sebagai "Ibukota Orangutan di Dunia" itu dibakar untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit. Peristiwa ini sempat mengejutkan Indonesia dan dunia.
Akibat pengerusakan lingkungan hidup, PTKA diganjar cukup berat. Pada 15 Juli 2014, Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh memvonis bersalah perusaan kelapa sawit tersebut. PTKA diwajibkan mengganti rugi materil sebesar Rp114 miliar ke negara dan harus membayar dana pemulihan lahan sebesar Rp.251 miliar.
Tak puas dengan putusan tersebut, PTKA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, namun ditolak. Mahkamah Agung pun telah menyatakan PTKA bersalah dan menolak banding maupun Peninjauan Kembali (PK) kasus ini.
Putusan MA ini, bagi aktifis lingkungan, merupakan kemenangan hukum perlidungan lingkungan di Indonesia. "Terutama bagi masyarakat lokal, kemenangan ini adalah keadilan dan inisiasi penting bagi usaha pemulihan di Tripa," kata Harli Muin, pengacara Gerakan Rakyat Menggugat (GeRAM). Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun mengapresiasi putusan tersebut.
Namun, dua tahun berselang, eksekusi tak kunjung dilaksanakan. Meskipun, lanjut Harli, KLHK telah mengirim surat permohonan kepada Kepala PN Meulaboh untuk melakukan eksekusi putusan. "Namun Ketua PN Meulaboh melakukan penundaan," tuturnya.
Senada dengan Harli, juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad, menyatakan seharusnya PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap Putusan MA. Menurutnya, PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan.
"Kami kaget mengetahui bahwa Ketua PN Meulaboh mengeluarkan Penetapan Perlindungan Hukum terhadap PTKA dengan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo. Kami melihat ini merupakan hal yang aneh," ujar Fahmi.
PTKA rupanya tak berdiam diri. Alih-alih membayar denda yang diwajibkan tersebut, PTKA menggugat balik beberapa lembaga pemerintah yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh dengan perkara No. 16/Pdt.G/Pn.Mbo.
Pengadilan Negeri Meulaboh menyatakan eksekusi keputusan tahun 2014 tak dapat dilaksanakan sampai ada keputusan terhadap gugatan baru. Menurut Fahmi, seharusnya tidak ada gugatan baru yang dapat membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan. "Dan juga tidak ada justifikasi untuk memberikan PTKA 'perlindungan hukum'. Apa yang dilakukan Ketua PN Meulaboh membingungkan," lanjutnya. Fahmi juga menilai PTKA mencari-cari alasan menghindari pelaksanaan eksekusi.
Kini, cerita pun berubah. Majelis Hakim PN Meulaboh yang dipimpin Said Hasan dalam Register Perkara Perkara No. 14/Pdt.G/2017/Pn.Mbo menyatakan menerima gugatan PTKA. Bukti koordinat yang salah yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada kasus sebelumnya menjadi alasannya. "Hari ini, Hakim Said Hasan memutuskan bahwa dia tidak akan mengeksekusi putusan Mahkamah Agung terhadap perusahaan kelapa sawit," pungkasnya.(bh/yun)
|