JAKARTA, Berita HUKUM - Dalam berbagai wacana publik, kerap dilontarkan gagasan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga ad-hoc dan karenanya bersifat sementara. Gagasan bahwa KPK bersifat sementara adalah gagasan yang kontraproduktif, karena faktanya korupsi terus menjadi permasalahan yang sangat besar di Indonesia dan kebutuhan akan adanya lembaga independen seperti KPK akan selalu ada.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi media bertajuk "Eksistensi KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia", yang diselenggarakan KPK pada Selasa (7/8) di Auditorium KPK, Jl. HR. Rasuna Said, Jakarta. Diskusi bulanan yang diikuti oleh awak media yang meliput di KPK dan sebagian pegawai KPK tersebut menghadirkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung, pimpinan KPK periode 2003-2007 Erry Riyana Hardjapamekas, dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai narasumber.
Erry mengatakan istilah “ad-hoc” sendiri sama sekali bukan berarti bersifat sementara. Kata “ad-hoc” yang merupakan bahasa latin, menurut Black’s Law Dictionary berarti “formed for a particular purpose” atau “dibentuk untuk tujuan tertentu”. “Dalam kaitannya dengan KPK, maka KPK dibentuk dengan tujuan untuk memberantas korupsi di negeri ini,” paparnya.
Menurutnya, dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ada satu pasal, ayat, kalimat, atau apapun yang menjelaskan bahwa KPK adalah lembaga ad-hoc, bersifat sementara, atau memberikan tenggat waktu keberadaan KPK. “Saat ini KPK dianggap sebagai lembaga sementara hanyalah penafsiran dari beberapa pihak semata atas beberapa penjelasan dalam UU KPK, khususnya penafsiran atas konsideran Menimbang huruf (b) UU KPK yang menyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum secara efektif dan efisien memberantas korupsi,” lanjutnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, KPK haruslah dimaknai sebagai lembaga permanen. Hal ini juga sejalan dengan Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi (2010-2025) yang meliputi upaya memperkuat kelembagaan lembaga antikorupsi, membangun KPK perwakilan di daerah, mengangkat penyidik KPK, memperkuat koordinasi dan supervisi kasus korupsi, memperkuat Pengadilan Tipikor, dan reformasi birokrasi. “Jadi, gagasan KPK sebagai lembaga yang bersifat sementara adalah kontraproduktif, tidak memiliki dasar hukum, dan juga tidak berdasar argumentasi yang memadai,” tandas Erry Riyana.
Sementara itu, terkait banyaknya pihak yang mempermasalahkan perlu atau tidaknya KPK diperkuat, Pramono Anung menegaskan bahwa KPK akan ada selama korupsi ada di Indonesia. Bahkan, menurutnya, KPK harus mempunyai kemampuan melebihi apa yang dimiliki saat ini. “Dengan kondisi KPK seperti ini saja, korupsi masih gila-gilaan. Apabila ada keinginan untuk mengurangi kewenangan KPK, itu lebih gila-gilaan,” imbuhnya.
Menurutnya, tidak ada yang undang-undang (UU) selain UU KPK yang berulang kali dilakukan uji materi (judicial review) hingga 13 kali. “Ini menunjukkkan begitu luar biasa dan pentingnya keberadaan UU No. 30 Tahun 2002 ini. Bahkan 11 uji materi itu berkaitan dengan kewenangan KPK”, ujar Pramono.
Dia meyakini, selama Makhamah Konstitusi berpegang teguh pada UUD 1945 dan semangat pada saat pendirian dan pembentukan UU KPK, keinginan orang untuk mendeligimitasi KPK ini tidak bisa dilakukan. “Saya membayangkan, dengan KPK yang sudah seperti ini saja, persoalan korupsi tiap hari yang menjadi headline media massa”, ucapnya. Menurutnya, di satu sisi ini bisa menunjukkan keberhasilan KPK, namun di sisi lain menunjukkan orang semakin canggih dan semakin cerdas untuk melakukan korupsi.
Berkaitan dengan eksistensi KPK, Pramono berkata, meskipun pimpinan KPK dipilih oleh DPR, yang paling prinsip adalah KPK harus berjarak secara profesional terhadap kekuatan-kekuatan politik yang ada. “Apapun orang politik melakukan pendekatan kepada KPK, saya tidak yakin kalau tidak ada apa-apanya,“ imbuhnya. Yang terpenting, lanjutnya, pimpinan KPK yang sudah terpilih tidak terkooptasi oleh siapapun, baik partai, pemerintah, DPR, bahkan LSM yang memberikan dukungan kepada KPK.
Selain itu, menurutnya tugas KPK sudah jelas sebagaimana tertuang dalam undang-undang. KPK juga tidak boleh keluar dari apa yang menjadi kewenangannya. “KPK tidak perlu melakukan kesepakatan dengan siapapun dalam hal yang berkaitan dengan kewenangannya, karena kita sepakat bahwa KPK untuk melawan kejahatan yang extraordinary”, ucapnya. “Tetapi, dalam prosedur, pelaksanaan operasional, sinergi, dan supervisi, itu dipersilakan”, lanjutnya.
Pramono juga memberikan apresiasi atas peningkatan yang signifikan uang yang berhasil diselamatkan oleh KPK dari 8 triliun pada 2009 menjadi 152 triliun. “Artinya, KPK sudah pada track yang benar dan orang sudah mulai melihat KPK tidak lagi sekadar melakukan penegakan hukum, tapi juga telah menciptakan sebuah sistem pada pemerintahan sehingga secara sistematis membuat orang tidak lagi melakukan korupsi,” tandasnya.
Di lain pihak, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menekankan bahwa reformasi hadir karena ada mandat dari masyarakat yang menginginkan pemberantasan korupsi dilakukan secara maksimal. “Saat itu terjadi pemusatan kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab dari kekuasaan yang menyebabkan tidak berfungsinya berbagai lembaga tinggi negara”, ujarnya.
Praktik-praktik tersebut, menurutnya, menimbulkan korupsi dan keuntungan bagi kelompok tertentu. “Kalau pemberantasan korupsi menjadi salah satu pilar utama reformasi, siapapun yang mencoba mendelegimitasi pemberantasan korupsi, maka dia kehilangan ruh eksistensi dalam mewujudkan reformasi”, tegasnya, sebagaimana yang dirilis Humas KPK pada Rabu (8/8).
Citra reformasi adalah membangun kekuasaan demokratis. Menurutnya, kekuasaan demokratis itu tidak akan tercapai selama korupsi menjadi bagian dari kekuasaan dan kehidupan bermasyarakat. “Kalau ingin membangun demokrasi yang baik dan benar, maka jangan berpikir demokrasi itu akan hadir kalau tidak ada lembaga antikorupsi yang baik”, tandasnya.(hms/kpk/bhc/sya) |