KABUL- Panglima militer Amerika Serikat (AS) di Afghanistan, Jenderal David Petraeus mengundurkan diri pada Senin (18/7) kemarin. Petraeus menyerahkan tongkat komando ke penggantinya, Jenderal (Mar) John Allen. Penyerahan tongkat komando itu, dihadiri sejumlah perwira tinggi AS, Laksamana Mike Mullen, Jenderal (Mar) James Mattis dan panglima NATO Wolf Langheld.
Jenderal Allen merupakan mantan bawahan Petraeus. Allen sendiri merupakan jenderal yang terkenal di Irak dalam memerangi musuh-musuh AS termasuk pengikut Al Qaida. Allen, yang dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal bintang empat, sebelum upacara serah terima itu. Ia menjadi orang pertama dari Marinir yang bertugas mengepalai perang pimpinan AS di Afghanistan.
Selama bertugas, Petraeus mengawasi penambahan ribuan tentara ke Afghanistan dalam menumpas aksi-aksi Taliban yang hampir berlangsung 10 tahun. Meski ia mengklaim sejumlah kemajuan dicapai, namun kekerasan masih tetap tinggi di negeri yang berbatasan langsung dengan Pakistan tersebut. Bahkan, ia tak berhasil mendeteksi usaha pembunuhan adik Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, Ahmed Wali Karzai yang dibunuh di rumahnya, dua pekan sebelumnya.
Peristiwa ini terjadi, dua pekan saat NATO mulai mengalihkan kendali beberapa kawasan ke Afghanistan. Kemungkinan kegagalannya inilah yang membuat petinggi militer AS harus mencopot Petraeus. Selanjutnya, dia ditempatkan memimpin Badan Pusat Intelejen (CIA). Washington sendiri saat ini akan mengurangi jumlah tentaranya berdasarkan jadwal yang kontroversial. Petraeus mengakui ia tidak merekomendasi hal itu.
Merujuk tempat-tempat persembunyian Taliban dan Al Qaida di Pakistan, Petraeus memperingatkan kemungkinan pertempuran hebat akan terjadi di masa depan. AS menyerang tempat-tempat itu dengan pesawat-pesawat tak berawak. Ia memuji hampir 150.000 tentara asing yang bertugas di Afghanistan dan menyatakan penggantinya Allen sebagai ‘orang yang tepat menunaikan tugas itu’.
Petraeus mendapat tugas di Afghanistan, setelah Presiden Barack Obama mencopot Stanley McChrystal yang memberikan pernyataan kepada majalah Rolling Stone perihal pemerintahan AS.
Harus Hengkang
Dari Indonesia, Presiden Afghanistan periode 1992-1996, Burhanuddin Rabbani Salam menegaskan, bahwa seluruh warga di Afghanistan tidak menginginkan kekuatan asing harus berlama-lama berada di tanahnya. Mereka harus segera hengkang. "Kami ingin mereka segera keluar dari Afghanistan," katanya dalam jumpa pers di sela-sela acara Consultation Forum for Peace in Afghanistan dengan PBNU di hotel Borobudur, Jakarta.
Namun demikian, ia menambahkan, mengingat kondisi Afghanistan masih sangat kritis, tentunya pemerintah Afghanistan memerlukan satu kebijakan yang tepat, sehingga ia tidak menafikan sangat membutuhkan bantuan internasional dan Dunia Islam. "Mudah-mudahan proses perdamaian yang masih berlangsung dan diupayakan oleh dewan perdamaian di Afghanistan akan mencapai hasil yang posistif,” kata Burhanuddin.
Mengenai perbedaan agama dan keyakinan seperti Syi'ah dan Sunni dinilai akan mempengaruhi peta kekuatan politik di Afghanistan, Burhanuddin langsung membantahnya. Ia menegaskan, sebenarnya tidak ada perang agama di Afghanistan. Bahkan, ia tidak pernah mendengar telah terjadi perang suku di sana. "Memang benar di Afghanistan itu banyak suku, namun tidak pernah terjadi perang suku di Afghanistan," tegasnya.
Justru yang menjadi faktor utama adalah campur tangan asing yang menyebabkan peperangan di Afghanistan dan interpretasi yang salah terhadap Islam baik dari pihak Taliban yang mana mereka memiliki pandangan yang tidak benar. Terlebih saat dirinya berkuasa, yang menekankan harus mewujudkan keamanan di Afghanistan dari dalam sendiri, bukan dari luar. "Jadi sebetulnya tidak ada konflik suku dan agama, tapi banyak kecenderungannya disebabkan oleh campur tangan pihak asing," jelas dia.(ant/tnc/nas)
|