JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon berpendapat tidak ada terpenuhi unsur makar pada kasus dugaan makar terhadap Rachmawati Soekarno Putri dan kawan-kawan yang ditangkap menjelang aksi damai tanggal 1 Desember 2016. Ia juga akan minta Presiden, Kapolri dan Kapolda untuk menutup perkara ini (SP3).
"Saya berpendapat tidak ada terpenuhi unsur makar disitu, dan ini pasal yang seharusnya betul-betul dibuat dengan hati-hati dan harus juga diperhatikan dengan hati-hati tidak sembarangan. Kalau tidak ini akan membuat demokrasi kita terancam, karena negara kita bukan negara polistate," kata Fadli saat menerima audiensi Rachmawati Soekarno Putri, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) dan kuasa hukum para terduga makar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (10/1).
Kemudian, sebagai Pimpinan DPR RI seperti halnya menerima audiensi dari masyarakat lainnya, ia akan segera meneruskan apa yang disampaikan Rachmawati dan kawan-kawan yaitu menutup perkara ini kepada Presiden, Kapolri dan Kapolda.
"Saya kira ini harus ada satu langkah, perkara ini ditutup. Dan permintaan daripada Bapak-bapak dan Ibu-ibu akan segera kami sampaikan kepada Presiden dan juga kepada Kapolri, Kapolda agar masalah ini tidak berlarut-larut dan energi kita sebagai bangsa juga tidak tersedot oleh perkara yang sebetulnya omong kosong, kalau tidak ada bukti-bukti yang kuat," papar politisi dari Gerindra ini.
Menurutnya, apa yang disampaikan Rachmawati dan para kuasa hukum jelas sekali bukti-bukti masih sangat sumir dan bahkan dalam persoalan diksi, etimologi kata makar saja orang bisa berbeda enterpretasi.
"Masa orang berniat bisa dikatakan makar, saya kira apa yang disampaikan Ibu Rachmawati tadi disampaikan oleh hati beliau apa yang terjadi di peristiwa tahun 1965 dan sebagainya dimana ada kekerasan fisik, senjata, itu jelas makar. Disini senjatanya mana, tidak ada senjata, ini penyampaian aspirasi bahkan penyampaian aspirasinya ke tempat yang tepat yaitu ke MPR, ke DPR dan sebagainya yang merupakan rumah rakyat yang dijamin konstitusi," jelasnya.
Ia menegaskan, bahwa konstitusi kita jelas mengatakan baik konstitusi UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945 atau perubahannya, itu ada jaminan hak untuk berbicara, hak untuk berkumpul, hak untuk berserikan, dan hak untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri Anggota Komisi III Supratman Andi Agtas dan Wenny Warrouw, Anggota Dewan dari daerah pemilihan Jawa Barat ini meminta data ataupun petisi-petisi yang lengkap sebagai bahan untuk mendalami adanya dugaan melanggar hukum.
"Karena ini kami baru mendengar dari sepihak dimana proses interogasinya seperti sebuah dagelan. Dan saya kira itu menunjukkan ketidakprofesionalan, dan kita tidak ingin ada polisi yang tidak professional," tukasnya.
"Karena polisi itu pengayom dan pelayan masyarakat. Jadi ini perlu juga diketahui public, apakah ini perbuatan oknum atau memang menjadi suatu policy dan ini saya kira menjadi bagian dati tugas di DPR untuk melakukan pengawasan," tambahnya.
Apakah kemudian ada unsur pelanggaran hak asasi manusia termasuk didalam hal ini penahanan tanpa proses BAP, lanjut Fadli, dan kalau benar tadi apa yang disampaikan pengacara dalam kasus Sri Bintang Pamungkas, Zamran dan Ruslan.
Menurutnya, ada sejumlah kejanggalan yaitu tentang proses yang begitu cepat, tidak ada satu kehati-hatian. Dalam kesempatan itu, Fadli menyayangkan, kenapa tidak ada satu gelar perkara yang terbuka, yang transfaran terhadap kasus dilakukan Saudara Ahok, dalam hal ini polisi sangat hati-hati mengistimewakan Saudara Ahok untuk menjadikan dia kemudian tersangka.
Tetapi tidak dalam kasus ini, begitu cepat, tiba-tiba dan ada semacam satu ketergesaan yang bisa membuat tindakan itu profesional bahkan bisa dianggap abuse of power atau melanggar hukum itu sendiri. Dan semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum.(sc/DPR/bh/sya) |