JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII), Kasihhati menyikapi langsung pernyataan Ketua Dewan Pers yang baru Prof Dr Ir Mohammad Nuh, yang beredar diberbagai media online, bahwa perusahaan pers yang telah memiliki legalitas hukum seperti akta pendirian (PT) dan (SIUP) dianggap belum cukup atau ilegal, sehingga harus mendapat izin lagi dari Dewan Pers, dengan analogi pengembang perumahan meski sudah mengantongi izin tetapi harus juga mendapatkan pula Izin Mendirikan Bangunan atau IMB (dari Dewan Pers).
Pada saat melakukan Verifikasi Faktual dibeberapa media di Makassar belum lama ini, M Nuh yang dikenal sebagai mantan Menteri Pendidikan ini mengibaratkan, Perusahaan pers sebagai keluarga, sehingga yang belum daftar harus mendaftar, agar masuk dalam keluarga. Karena menurutnya, kalau ada anak diluar nikah harus didaftar agar dapet warisan.
Menanggapi hal tersebut, Kasihhati menilai M Nuh Tidak mengerti dan tidak memahami, sejarah Pers dan Undang undang Nomor 40 tahun 1999 , tentang Pers.
"Pernyataan ketua Dewan Pers (DP) ini membuktikan bahwa ketua Dewan Pers adalah Pengkhianat diantara Pejuang pejuang Pers yang sudah berdarah darah memperjuangkan kemerdekaan Pers, dan Pernyataan itu juga membuktikan bahwa Muhammad Nuh, tidak memahami undang undang dasar 45 dan Pancasila, Bagaimana Muhammad Nuh, mau menjadi bapaknya insan Pers diseluruh Indonesia, kalau tidak mengerti tentang dunia Pers dan undang undang Pers,wajar kalau sikapnya Diktator dan Sok berkuasa," tegas Kasihhati, sebagaimana siaran pers pada Minggu (11/8).
"Saya tidak mengerti lanjut Kasihhati, seorang yang berpendidikan tinggi seperti M Nuh, bisa membuat kebijakan sepihak yang yang melanggar undang undang Pers dan Hak azazi manusia, Harusnya Muhammad Nuh dan anggota Dewan Pers memahami, undang undang pers dan undang undang dasar agar tidak membuat kebijakan yang nyeleneh," cetusnya.
Kasihhati juga menghimbau agar Dewan Pers tidak membuat pernyataan ataupun membuat surat edaran yang dapat menganggu aktivitas insan pers dan jangan sembarangan menuduh perusahaan pers yang tidak diverifikasi Dewan Pers dan wartawan yang tidak ikut UKW ilegal, karena semua dilindungi undang undang dan negara.
"Apa mata Muhammad Nuh Ketua Dewan Pers tidak melihat bahwa tahun 2017 kita sudah melakukan aksi (lihat: youtube, aksi 203 fpii dan aksi 134 fpii) yang dilakukan FPII saat menyikapi hal-hal yang terkait dengan kriminalisasi dan diskriminasi terhadap wartawan?" ungkapnya.
Masih menurutnya, pernyataan tersebut juga salah satu bentuk pengungkapan bahwa Ketua Dewan Pers itu 'GAGAL' membina wartawan dan media yang begitu pesat berkembang sekarang ini. Belum lagi produk Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang memakan biaya Rp. 1,5 - 3 juta/orang.
"Berapa rupiah total yang telah diraup? Kemana Anggaran puluhan bahkan ratusan juta hingga miliaran rupiah yang dikucurkan Pemerintah tiap tahun untuk DP?" tanyanya.
Kasihhati menegaskan, Ketua Dewan Pers yang sekarang ini menganggap bahwa dirinya merupakan seorang "PENGUASA" di dunia Pers sudah lepas kontrol, seolah sebagai HAKIM yang memutuskan vonis hukuman bagi terpidana
"Hal inilah yang patut dipertanyakan dan dicurigai tingkat pendidikan seorang Ketua Dewan Pers. Bukannya menyatukan suatu perbedaan pandangan, malah memecah belah. Apa ini yang dinamakan seorang ketua?" ucap Kasihhati.
"Harusnya Ketua Dewan Pers Calling Down, bertobat dan minta ampun kepada Tuhan YME," kata wanita yang akrab dipanggil Bunda ini, yang juga menjabat ketua Presidium Dewan Pers Independen (Dewan Pers-Perjuangan").
Kasihhati mengingatkan kepada Pengurus dan Anggota FPII seluruh Indonesia untuk terus berjuang membela kemerdekaan pers sejati, melaksanakan peliputan sesuai kaidah kode etik jurnalistik.
Sementara, penelusuran pewarta terkait karir Mohammad Nuh sebagai ketua Dewan Pers tersebut bukan dari kalangan Insan Pers, namun Ia terpilih mewakili dari unsur masyarakat sebagai Ketua Dewan Pers Periode 2019 - 2022, yang menggantikan Yosep Adi Prasetyo
Mohammad Nuh (60) lahir di Surabaya, yang mengawali kariernya sebagai dosen Teknik Elektro ITS pada tahun 1984. Sebelum menjabat Menteri Pendidikan Nasional Indonesia sejak 22 Oktober 2009 hingga 20 Oktober 2014 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (2007 - 2009) dan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya periode tahun 2003 - 2006.(kh/wiki/bh/sya) |