JAKARTA, Berita HUKUM - Menanggapi pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, bahwa 60 % Perusahaan Tambang tidak bayar Pajak!. Menurut Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Ucok Sky Khadafi, "Hal ini mungkin bisa dibenarkan, karena, bila melihat dari pajak Migas, memang sangat minim sekali, dan hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut," ujarnya melalui pesan tertulisnya kepada BeritaHUKUM.com, Kamis (04/7).
Menurut data yang di rilis Ucok Sky Khadafi:
Pertama, ada total realisasi Pajak PPh Migas sebesarRp.83.460.868.001.301 untuk tahun 2012; pada tahun 2011 sebesar, Rp.73.095.496.754.938. Dan target Pendapatan PPh Migas Tahun 2013 dalam APBN Perubahaan sebesar Rp.74.277.980.000.000.
Kedua, pendapatan pajak dari pertambangaan sebesar Rp.565.247.025.160 untuk tahun 2012: sebesar Rp.397.619.412.898 untuk tahun 2011.
Ketiga pendapatan pajak PBB Migas sebesar Rp.19.793.314.708.579 untuk tahun 2012; sebesar Rp.20.477.766.627.883 untuk tahun 2011.
Keempat, pendapatan PPn Batubara sebesar Rp.769.733 untuk tahun 2012: sebesar Rp.61.093.244.
Dari gambaran diatas, trend pendapatan pajak Migas angkanya atau anggaran tidak tegak lurus naik ke atas. Malahan anggaran menurun sekali. Padahal, akibat pertambangan ini, banyak yang merusak lingkungaan, dan pendapatan negaran dari sektor Migas tidak bisa diandalkan untuk memperbaiki lingkungaan yang rusak ini.
Kemudian daripada itu, penerimaan pajak dari sektor Pertambangaan sangat minim, disebabkan, selain ada kemungkinan 60 % perusahaan tambang tidak bayar pajak, ada juga persoalan lain, yaitu, sesuai Laporan keuangaan Pemerintah pusat pada tahun 2011, ditemukan bahwa, terdapat Inkonsisten penggunaan Tarif pajak dalam perhitungan pajak penghasilan minyak dan Gas Bumi (PPh Migas), dan perhitungan Bagi Hasil Migas, sehingga Pemerintah kehilangaan Penerimaan minimal sebesar Rp.2,35 Triliun.
Kurangnya koordinasi atas pencatatan dan penagihaan atas PPh Migas yang tidak dapat memastikan kelengkapan dan keakuratan data penerimaan PPh Migas yg menjadi hak pendapatan Pemerintah.
Jadi, dengan minimnya, pendapatan di sektor Pajak Migas ini, sudah selayaknya DPR harus melakukan evaluasi terhadap kenerja Dirjend Pajak. Dan, kinerja Dirjend Pajak bisa diukur dari tinggi atau rendahnya Pendapatan Negara.
"Kalau pendapatan negara rendah, maka lebih abik DPR mendorong agar Dirjend Pajak untuk dimundurkan saja, Ganti dengan Dirjend pajak yang bisa meningkatkan pendapatan pajak dari sektor pertambangaan," pungkas Ucok.(bhc/put)
|