JAKARTA, Berita HUKUM - Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) dimulai sejak tahun 2008 melalui perjanjian Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership. Inisiatif ini merupakan bagian dari program ambisius untuk menunjukan bahwa “forest carbon offset” adalah cara yang tepat untuk mengurangi emisi karbon.
Proyek percontohan KFCP dimuali dengan janji-janji besar untuk menunjukan kegiatan, program dan kebijakan yang mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan/hutan di Indonesia dan memberikan insentif mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat.
KFCP pertama kali diumumkan pada tahun 2008 oleh pemerintahan Howard kemudian diteruskan oleh Rudd dan Gillard. Ini merupakan bagian dari komitmen 273.000.000 Dollar Pemerintah Australia dalam kemitraan dengan Indonesia untuk menunjukkan bahwa 'pendekatan berbasis pasar' untuk perlindungan hutan dapat dilakukan.
AusAid telah memastikan tidak akan meneruskan percontohan karbon hutan di Kalimantan Tengah senilai 47 juta Dollar Australia tersebut menjelang kunjungan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd ke Indonesia pekan ini.
Deddy Ratih, Manager Advokasi Bioregion WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Nasional mengatakan; “AusAID dan KFCP telah gagal untuk mendukung program perlindungan lingkungan yang efektif dan peka terhadap hak-hak masyarakat adat di daerah pedesaan di Kalimantan Tengah.
Padahal proyek KFCP di promosikan sebagai sebuah kesempatan untuk memberdayakan masyarakat lokal untuk mengembangkan sumber-sumber kehidupan yang berkelanjutan tanpa merusak hutan dan mengatasi pemicu konversi lahan di Kalimantan.”
"Koalisi masyarakat sipil penyelamat hutan dan iklim global yang selama ini mengadvokasi ketidak adilan dalam penanganan perubahan iklim melalui berbagai proyek dan skema di Indonesia menyatakan bahwa Ini juga bukti paling nyata bahwa semua proyek atas nama apapun, tidak akan sukses tanpa berusaha menyelesaikan persoalan hak atas tanah dan sumber daya alam."
KFCP sejak awal tidak dirancang untuk melakukan upaya membantu masyarakat setempat, tidak melakukan apa-apa untuk menegaskan hak-hak adat mereka dan mengembangkan kapasitas untuk pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
"Lebih dari lima tahun proyek tersebut tidak memberikan hasil yang signifikan bagi lingkungan, bahkan menciptakan konflik di masyarakat adat/lokal dan membuat mereka kebingungan tentang status tanah mereka." Kata Arie Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah.
Lebih jauh, jika dilihat dari tujuan untuk mengurangi emisi tingkat global, tentu pemerintah Australia menerapkan standar ganda. Banyak korporasi Australia yang mengeruk keuntungan dari penghancuran alam Indonesia, untuk menyebut beberapa, misalnya Rio Tinto di Papua, BHP Billiton yang mengeruk batu bara di Kalimantan Tengah dan Indo Muro Kencana (Aurora Gold) tambang emas yang menimbulkan konflik berkepanjangan dengan masyarakat dayak Siang di Murung Raya, Kalimantan Tengah.
Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktek pengerukan sumber daya alam oleh korporasi Australia tidak sebanding dengan hibah yang diberikan, apalagi tujuan hibah tersebut lebih bersifat politis untuk kepentingan Australia sendiri serta mendorong skema pasar REDD dalam perjanjian perubahan iklim global pasca 2012, bukan untuk kepentingan Indonesia apalagi masyarakat yang hidup di sekitar lokasi proyek KFCP, imbuh Arie lebih lanjut.
Norhadie Karben, masyarakat adat dari desa Mentangai Hulu menuturkan; "Sejak tahun 2004 yang lalu, banyak lembaga internasional melakukan kegiatan yang katanya untuk merehabilitasi kawasan eks PLG (Proyek Pengembangan Gambut 1 juta hektar/megarice project dimasa orde baru), pada tahun 2006 kehadiran proyek CKPP mulai membuat masyarakat bingung karena sejak kehadiran proyek tersebut, hak-hak masyarakat mulai dibatasi, akses kedalam hutan maupun hak atas tanah adat masyarakat dibatasi. Hingga di awal tahun 2009 KFCP muncul dan menimbulkan konflik ditingkat masyarakat dan membuat kebingungan tentang status tanah kami.
Proyek KFCP ini seharusnya lebih cepat dihentikan, biar kami hidup damai di kampung kami."
Eksperimen melalui KFCP ini memperlihatkan bahwa upaya konservasi yang dilakukan, carbon offset dan skema pasar karbon tidak menangani langsung driver deforestasi dan emisi berbasis lahan.
Meskipun Kalimantan menjadi pilot proyek dalam proyek-proyek forest carbon tetapi di Kalimantan juga berkembang pesat ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan terutama batubara. Hal ini memperlihatkan kelemahan mendasar dari upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan ini, pungkas Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.
Saat ini harusnya yang dilakukan adalah menghentikan laju ekspansi konversi dan perusakan hutan oleh Industri-industri berbasis lahan untuk mengendalikan perusakan hutan dan memberikan pengakuan terhadap kelola masyarakat adat dan lokal untuk kemudian turut serta menjaga dan memelihara hutan dan lingkungan. Demikian Abetnego menyimpulkan.(rls/wlh/bhc/rby) |