JAKARTA, Berita HUKUM - Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akan menyelenggarakan kegiatan Eco Driving Workshop dan Rally “Perilaku Mengemudi Ramah Lingkungan” pada Pekan Lingkungan Hidup Indonesia 2014 di kawasan Senayan Jakarta pada hari Sabtu (31/5) lusa. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya Kementerian LH menggalakkan “Gerakan Puasa Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)”.
Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLH, MR. Karliansyah, dalam paparan yang disampaikan oleh Asdep Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak KLH, Novrizal Tahar, ST, Msi menjelaskan, lebih dari separuh BBM di Indonesia sangat bergantung dari impor, baik crude oil maupun BBM murni. Sementara, pertumbuhannya meningkat setiap tahunnya hampir 10%.
“Beban subsidi yang ditanggung oleh negara mencapai Rp 200 triliun pada tahun 2014, dan masih memungkinkan akan melebih kuota tersebut. Persoalan subsidi BBM menjadi persoalan sangat serius bagi persoalan ekonomi dan ketahanan energi negara Indonesia,” kata Karliansyah sebagaimana disampaikan Novrizal Tahar pada acara kegiatan persiapan Pra Eco Driving di kantor Kemeterian LH, Jakarta, Rabu (28/5).
Untuk menekan persoalan tersebut, Kementerian ESDM telah menghimbau masyarakat untuk melakukan “Gerakan Puasa Subsidi BBM”. Gerakan puasa subsidi BBM ini, kalau dilakukan secara massif dan massal, akan menghemat sebesar Rp 48 triliun setiap tahunnya.
“Gerakan Puasa Subsidi BBM” adalah merupakan gerakan lingkungan yang dapat menghasilkan emisi yang lebih bersih. Emisi yang lebih bersih akan menghasilkan kualitas udara perkotaan yang lebih baik, dan pada gilirannya akan menghasilkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang lebih berkualitas,” jelas Novrizal.
Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLH itu menjelaskan, gerakan puasa subsidi BBM ini sebenarnya identik dengan “Gerakan Menggunakan Bahan Bakar Rendah Sulfur”. Ia menyebutkan, pada umumnya, BBM yang bersubsidi memiliki kandungan sulfur (belerang) yang lebih tinggi dibandingkan dengan BBM non subsidi. Misalnya, kandungan sulfur BBM Premium lebih tinggi dibandingkan dengan BBM Pertamax dan Pertamax plus, begitu juga untuk BBM solar. Kandungan BBM solar Pertamina DEX terbaik adalah 200 ppm, sedangkan BBM solar biasa kandungan sulfur mencapai 3500 ppm.
Karliansyah membandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya, misalnya Singapura, untuk BBM diesel (solar) terbaiknya kandungan sulfurnya 10 ppm, China 50 ppm, Thailand 50 ppm, Jepang dan Korea 10 ppm. “Dengan demikian, BBM non subsidi merupakan BBM yang relatif lebih bersih dibandingkan BBM bersubsidi, sehingga akan menghasilkan emisi (gas buang) yang lebih bersih,” ungkapnya.
Karliansyah menjelakan, “Gerakan Puasa Subsidi BBM” merupakan gerakan yang sejalan dengan gerakan menggunakan “Bahan Bakar yang Rendah Sulfur” dan “Perilaku Mengemudi Ramah Lingkungan (Eco-Driving)”.
Ditambahkan Novrizal, gerakan “Gunakan Bahan Bakar Rendah Sulfur” akan menjadi sangat efektif apabila dilakukan dengan perilaku mengemudi yang berwawasan lingkungan (eco-driving). Hasil riset menunjukkan bahwa perilaku mengemudi yang berwawasan lingkungan (eco-driving) dapat menghemat penggunaan bahan bakar mencapai 10-15%”.
“Artinya, apabila semua masyarakat Indonesia melakukan perilaku eco-driving, Indonesia dapat mengurangi penggunaan BBM sebesar 140.000-200.000 bph. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan angka pertumbuhan kebutuhan bahan bakar setiap tahunnya,” papar Novrizal.
Novrizal juga menyebutkan, konsumsi BBM bersubsidi akan menghasilkan emisi jauh lebih kotor dibandingkan dengan BBM non subsidi, konsumsinya secara nasional mencapai 96-97% pertahun, hanya kurang lebih 3-3,5% yang mengkonsumsi BBM non subsidi yang notabene akan menghasilkan emisi yang lebih bersih.
Ia menyebutkan, data-data nasional yang dikeluarkan terus menunjukkan penurunan tren kualitas udara perkotaan nasional, misalnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 2012, terjadi tren penurunan kualitas udara secara nasional dari tahun-tahun sebelumnya. Lebih dalam lagi, data-data tersebut menunjukkan kualitas parameter SOx (sulfur dioksida), NOx (nitrogen dioksida), dan PM10 (partikulat) di perkotaan2 besar di Indonesia mengalami penurunan kualitas yang signifikan.
Kandungan sulfur yang relatif tinggi, jelas Novrizal, berpotensi untuk meningkatkan parameter-parameter pencemar udara seperti SOx, NOx, dan PM10. Hal ini akan berdampak pada menurunnya tingkat kualitas kesehatan masyarakat, seperti penyakit-penyakit pneumonia, stroke, penyakit jantung, penyakit paru-paru kronis, dan kanker paru-paru.
“Baru-baru ini WHO merilis bahwa setiap tahunnya 7 juta jiwa meninggal akibat pencemaran udara, dan itu adalah seperdelapan dari kematian di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut 60.000 jiwa terjadi di Indonesia,” ungkap Novrizal seraya menyebutkan, kandungan sulfur yang relatif tinggi juga akan berdampak pada meningkatnya pembiayaan pemeliharaan kendaraan.
“Hasil studi UNEP menunjukkan pada tahun 2012, cost of illness yang disebabkan oleh pencemaran udara di Kota Jakarta mencapai angka Rp 38,5 triliun. Angka-angka tersebut adalah angka-angka yang sangat fantastis dan diluar kesadaran kita semua,” pungkas Novrizal.(klh/es/setkab/bhc/sya) |