JAKARTA, Berita HUKUM - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2013 sebesar 5,81% (yoy) sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) diakui Bank Indonesia (BI) lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,9% (yoy). Karena itu, Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi kebijakan bersama Pemerintah dalam mengelola perekonomian agar dapat tumbuh lebih seimbang dan sehat, di tengah proses pemulihan ekonomi dunia yang belum sesuai dengan harapan.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi A. Johansyah, dalam siaran persnya Jumat (2/8) mengemukakan, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya dan mengindikasikan adanya perlambatan ekonomi tersebut, terutama disebabkan kinerja investasi non-bangunan yang mencatat kontraksi sejalan dengan permintaan konsumsi rumah tangga yang melambat.
“Konsumsi rumah tangga yang melambat tidak terlepas dari melemahnya daya beli akibat meningkatnya inflasi. Sementara itu, meskipun secara nominal mengalami penurunan, kinerja ekspor riil membaik ditopang kenaikan ekspor beberapa komoditi utama akibat membaiknya permintaan dari AS, sedangkan permintaan ekspor dari Cina menurun,” papar Difi.
Bank Indonesia memperkirakan ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 akan berada dalam batas bawah kisaran 5,8-6,2%. Prakiraan tersebut tersebut antara lain dipengaruhi oleh dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina dan meningkatnya tekanan inflasi. Namun, persiapan penyelenggaraan Pemilu 2014 diperkirakan dapat kembali mendorong pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2013.
Inflasi Melebihi Perkiraan BI
Sebelumnya Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Peter Jacobs dalam siaran persnya Kamis (1/8) mengemukakan, Indonesia. inflasi pada Juli 2013 yang dirilis BPS pada Kamis (1/8) sebesar 3,29% (mtm) atau 8,61% (yoy) melebihi perkiraan Bank.
“Tingginya tekanan inflasi terutama disebabkan oleh gangguan pasokan sejumlah komoditas pangan seperti bawang merah, cabai, daging ayam dan daging sapi, di tengah kenaikan permintaan musiman Ramadhan.
Hal ini menyebabkan inflasi bulanan kelompok volatile food meningkat hampir tiga kali di atas perkiraan sebelumnya, sehingga mencapai 6,07% (mtm) atau 16,12% (yoy),” ungkap Peter.
Untuk dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap harga bensin dan solar serta tarif angkutan, BI mencatat sudah mencapai puncaknya di bulan Juli dan menyumbang hampir separuh dari realisasi inflasi.
Dengan perkembangan tersebut, inflasi administered prices mencapai 7,90% (mtm) atau 15,10% (yoy). Sementara itu, inflasi inti masih relatif terjaga meskipun meningkat mencapai 0,99% (mtm) atau 4,44% (yoy), didukung oleh harga komoditas global yang menurun dan permintaan yang terkendali.
BI memperkirakan, ke depan inflasi akan mereda kembali pada pola normalnya. Indeks Harga Konsumen (IHK) diperkirakan akan turun ke sekitar 0,9% (mtm) pada Agustus dan sekitar 0,1% (mtm) pada September 2013. “Penurunan inflasi didorong pengaruh positif kebijakan pemerintah untuk mempercepat dan menambah kuota impor daging sapi dan menambah pintu masuk impor bawang merah melalui Jawa,” tutur Peter.
Selain itu, penurunan inflasi juga dipengaruhi oleh meredanya dampak kenaikan harga BBM dan kembali normalnya permintaan setelah Lebaran. “Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi kebijakan bersama Pemerintah baik di tingkat Pusat dan Daerah dengan fokus pada upaya menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi bahan pangan,” jelas Peter.
Dengan berbagai langkah tersebut, inflasi IHK akan dapat dijaga dan secara bertahap terus menurun mencapai kisaran sasaran inflasi sebesar 4,5%±1% pada tahun 2014.
Adapun defisit perdagangan Juni 2013 yang mencapai 0,8 miliar dolar AS atau lebis besar dari Mei 2013 sebesar 0,5 miliar dollar AS, menurut Bank Indonesia, hal ini karena dipengaruhi oleh lebih besarnya penurunan ekspor dibandingkan penurunan impor. Pertumbuhan ekspor secara bulanan terkontraksi sebesar 8,6% (mtm), sedangkan pertumbuhan impor terkontraksi lebih rendah sebesar 6,4% (mtm).
Penurunan ekspor dipengaruhi pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas ekspor yang belum kuat, terutama pada ekspor kelompok barang tambang (batubara, tembaga, dan nikel). Sementara itu, penurunan impor khususnya terjadi pada kelompok bahan baku dan barang modal, tidak terlepas dari pengaruh tren perlambatan permintaan domestik dan permintaan ekspor.(dkb/es/skb/bhc/rby) |