JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyatakan bahwa kepada terdakwa wisma atlet SEA Games XXVI Jakabaring, Palembang. Muhammad Nazaruddin terbukti telah menerima hadiah berupa cek senilai Rp4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah, rekanan Kemenpora dalam proyek senilai Rp191 miliar.
“Cek tersebut, merupakan fee terdakwa, karena dapat mengatur proyek wisma atlet dimenangkan PT DGI, " ujar Jaksa Edy Hartoyo saat membacakan tuntutan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (2/4).
Cek-cek tersebut, lanjut Edy diberikan kepada terdakwa melalui staf keuangannya yaitu Oktarina Furi dan Yulianis dalam tiga tahap pemberian, yaitu pemberian pertama yaitu dua cek, pemberian kedua dua cek dan yang terakhir tiga cek.
"Cek tersebut sudah dicairkan dan disimpan di brankas Permai Group yang berada di bawah penguasaan terdakwa dan Neneng Sri Wahyuni sebagai Direkrut Keuangan, penerimaan sudah terwujud karena cek sudah berpindah tangan," sambung Edy.
Sedangkan pemberian komitmen fee berdasarkan keterangan Yulianis dan Oktarina Furi bahwa besaran komitmen fee sebesar 13 persen adalah atas dasar ada kesepakatan antara terdakwa melalui Rosa Mindo Manulang, Direktur Marketing PT Anak Negeri dengan El Idris, Manager Pemasaran PT DGI. "Ini diperkuat dalam percakapan terdakwa dengan Rosa melalui BBM sehingga unsur menerima hadiah sudah terbukti,"jelas Edy.
Mendengar hal itu, terdakwa Nazaruddin secara tiba-tiba langsung mengajukan interupsi. Kontan saja, ketua Majelis Hakim Dharmawati Ningsih langsung menegur agar Nazaruddin mendengarkan dulu tuntutan seluruhnya.
Tetapi mantan bendahara umum partai Demokrat ini, tidak mengindahkan terguran ketua majelis hakim tersebut. Sehingga Dharmawati Ningsih mengetuk palu dan memberi peringatan keras kepada politisi Demokrat ini. "Saya peringatkan terdakwa mendengarkan dulu pembacaan tuntutan hingga selesai," tegasnya.
Nazaruddin pun akhirnya tidak jadi bicara dan penuntut umum melanjutkan pembacaan tuntutan. Selang itu, Suami Neneng Sri Wahyuni mendengarkan dengan menunduk sambil sekali-kali memainkan jarinya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama.
Nazaruddin terlibat komunikasi tanpa suara dengan tim pengacaranya dari kursi terdakwanya. Terlihat beberapa kali dirinya beradu pandang dengan tim Pengacara yang memberi kode dengan tangan dan beberapa ucapan bibir.
Merasa peringatannya tidak diindahkan, Hakim Dharmawati Ningsih yang langsung menginterupsi Persidangan. "Saya peringatkan terdakwa dan tim pengacara untuk tidak saling melakukan komunikasi yang dapat menggangu Persidangan, saya minta agar terdakwa dan Pengacara menyimak pembacaan tuntutan hingga selesai baru mengajukan interupsi," imbuhnya.
Dituntut Tujuh Tahun Penjara
Dalam tuntutannya, JPU meminta majleis hakim menghukum Nazaruddin selama tujuh tahun penjara. "Menyatakan terdakwa Nazaruddin secara sah dan meyakinkan bersalah terbukti melakukan tindak pidana korupsi seperti diatur dalam pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Korupsi," ujar salah satu tim JPU, Anang Supriatna.
Selain hukuman badan, JPU juga meminta Majelis Hakim agar mewajibkan terdakwa membayar denda sebesar Rp 300 juta subsider enam bulan penjara.
Menanggapi hal tersebut, Nazaruddin mengaku kesal. Pasalnya dirinya hanyalah korban rekayasa Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum . Saya memang korban rekayasa dari pemerintahan sekarang. Korban rekayasa Anas, yang memang membuat suatu cerita yang membuat saya terpojokkan. Itu yang saya sayangkan dari awal,” ujarnya saat ditemui wartawan usai persidangan.
Dirinya juga mempertanyakan mengapa nama Anas tidak disebut dalam tuntutan jaksa. “Kenapa dibilang tadi tidak ada Anas, sementara kan ada barang bukti yang ditunjukkan JPU, ada slip gaji, ada Anas, ada saya. Saya dapat informasi kalau Anas akan diselamatkan karena kepentingan umat. Kenapa Anas, otaknya, di sini enggak ada?” ujar mantan Anggota Komisi III DPR RI ini.
Nazaruddin menilai, bahwa tidak ada bukti dalam persidangan yang menunjukkan dirinya menerima suap berupa cek senilai Rp 4,6 miliar. Menurutnya perusahaan Grup Permai yang disebut jaksa sebagai perusahaan miliknya itu tidak pernah ada.
Meskipun menyebut Grup Permai tidak pernah ada, Nazaruddin mengatakan kalau Anas menjadi pengendali Grup Permai. Nazaruddin bingung mengapa nama Anas tidak disebut dalam tuntutan, sementara ada bukti slip gaji Anas selama 2008-2009 yang ditunjukkan dalam persidangan. “Itu jelas nama Anas ada, kenapa JPU tidak mengakui? Ada apa permainan rekayasa ini?”imbuhnya.
Atas tuntutan tersebut, Nazaruddin dan tim kuasa hukumnya akan mengajukan nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan pada Senin (9/4) pekan depan. (dbs/biz)
|