JAKARTA, Berita HUKUM - Rouf Qusyairi selaku Direktur Eksekutif Sosial Media for Civil Education (SMCE) menyampaikan bahwa media baru dan diakui, bisa dijadikan rujukan untuk menjadi opini, dan mempengaruhi masyarakat. Di luar media Mainstream, terdapat media alternatif atau seringkali dikenal media sosial, seperti Facebook, twitter, google+, Instagram, dsb.
"Tekhnologi pengaruhnya sangat cepat sekali. Dan harus segera di respon, karena menjadi alat yang berpengaruh bagi perubahan, dan ternyata teroris masih sulit untuk diberantas. Maka payung hukumnya perlu dipertegas lagi supaya bisa menangkal masuk dan bisa bergerak untuk pencegahan dan menangkal, Itulah harus kita antisipasi bagi kaum terorisme mempengaruhi generasi muda bangsa," ungkap Rouf Qusyairi, saat mengawali sesi Diskusi Media bertema,"Peran Media Alternatif Dalam Kajian Revisi UU Terorisme; Upaya Mencegah Radikalisme di Kalangan Generasi Muda" yang dilangsungkan di di gedung Hall Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih 32-34, Jakarta Pusat. Rabu (24/2).
Makna yang termaktub dari kata atau sebutan terorisme dan radikalisme merupakan satu kesatuan momok yang hingga kini masih menjadi ancaman keberlangsungan dan eksistensi sebuah bangsa dan negara.
Seperti diketahui problem kebangsaan yang perlu ditangani secara sungguh-sungguh oleh negara terutama keterlibatan kaum muda dalam pusaran ideologi radikalisme dan terorisme merupakan fakta yang tidak terbantahkan.
Sementara, Edi Humaidi selaku Ketua umum Kaukus Muda Indonesia (KMI) menyampaikan bahwa, kalau memang dewasa ini peran media alternatif disenangi dan digandrungi oleh anak muda. "Bisa disenangi namun bisa menjadi malapetaka bagi anak muda," ungkapnya mengingatkan.
Anak muda merupakan generasi penerus bangsa yang akan menggantikan dan melanjutkan generasi saat ini. Generasi muda mempunyai peran yang strategis dalam tetap menghidupkan semangat perjuangan para pendahulunya.
"Satu sisi menjadi kekuatan namun disisi yang lain juga bisa menjadi kelemahan, manakala kurang mendapatkan perhatian. Media alternatif menjadi kelemahan manakala kurang mendapatkan perhatian. Media Alternatif merupakan sebuah instrumen bagi kalangan anak muda dalam mengaktualisasikan jati dirinya, sehingga media sosial juga menjadi alat pejuangan sepanjang terus dapat diarahkan," jelasnya.
Sedangkan, Hanafi Rais sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi PAN yang turut hadir selaku narasumber di acara diskusi ini, yang diselenggarakan oleh SMCE menyampaikan bahwa, sebenarnya semenjak dari dahulu terorisme sudah ada, namun bentuknya saja yang berubah dari masa ke masa, jika dulu negara melawan negara lain, tapi sekarang sudah berubah menjadi individu melawan negara.
"Kenapa memakai media?, karena biayanya murah dan propagandanya lebih tepat sasaran, karena mudah dikonsumsi secara pribadi dan menjadi 'user only'. Dan membuat video yang durasinya pendek namun bisa menembus sekat negara di dunia hingga mudah dikonsumsi di kelompok ekstrim dimanapun berada," jelasnya.
"Akhirnya media menjadi pertarungan antara mereka yang memiliki paham terorisme dengan kelompok yang anti terorisme. Dulu, mereka mengatakan yang terlibat teror adalah mereka yang menderita kemiskinan dan tidak berpendidikan. Namun sekarang justru banyak anggota terorisme yang berasal dari kalangan terdidik dan berkemampuan lebih, jadi kita tidak lagi bisa menjudge pelaku teror adalah orang miskin," ungkapnya lagi.
Hingga kedepannya bila negara ingin membentuk badan cyber anti terorisme, mesti mampu melakukan counter alternative secara lebih luas. Menurut anggota DPR RI komisi I itu bahwa, jangan sampai jika ada pembentukan badan itu namun disisi lain mempertontonkan tindakan kemunafikan, sehingga masyarakat menjadi muak, bukan mendukung malah bisa menjadi bumerang, sehingga malah menimbulkan banyak calon terorisme baru.
"Jika negara kita mau mencotoh Amerika, itu sah saja dan bisa dilakukan. Pemerintah jangan hanya mengejar penindakan dan negara harus berlaku adil dan jangan berlaku represif sehingga dapat dijadikan modal oleh kelompok-kelompok lain untuk menjudge bahwa pemerintah kita sudah tidak bisa diharapkan ini. Akibatnya akan menjadi ladang subur bagi pengembangan paham terorisme baru," jelas Hanafi Rais.
Lebih lanjut, saat sesi diskusi yang dihadiri perwakilan dari Mabes Polri, yakni AKBP Martono Ersindo mengutarakan bahwa, kalau kata alternatif adalah bentuk lain dari yang sudah biasa, media adalah satu alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan agar bagaimana dapat memanfaatkan media dalam penyaluran informasi anti terorisme.
Jadi menurut Hanafi Rais bahwa, yang dilakukan adalah membangun opini yang ada, normal menjadi tidak normal sesuai dengan pemahaman yang mereka inginkan. "Teroris adalah suatu tindakan membuat orang lain menjadi takut, semakin diupload dan diekspos oleh media maka mereka akan semakin senang, nah yang sekarang adalah kita harus mempersiapkan mental kita bahwa teroris adalah musuh yang bersama," ungkapnya.
"Siapakah yang akan melakukan pencegahan tindakan teroris? Polisi hanya menjalankan aturan sesuai dengan UU yang dihasilkan oleh anggota Dewan, peran dan fungsi kolektif itu yang harus di kembangkan, namun apakah tukang ojek, RT/RW dan lainnya tidak boleh melakukan pencegahan," jelasnya lagi.
Ada beberapa poin yang perlu menjadi hakekat dasar agar dapat mencounter sekarang demi kontra terorisme, menurut AKBP Martono Ersindo, yakni :
Pertama (1), Memberikan pemahaman ulang, menyampaikan bahwa agama itu adalah kedamaian bukan kekerasan, mengajarkan agar lebih hormat pada yang lebih tua, dimana kekuatan budaya bangsa kita (Paternalistik) dan secara perlahan budaya kita sudah dikalahkan dengan isu HAM, tergerus secara perlahan-lahan
Kedua (2), Gotong royong, kita harus akui bahwa kita sudah tidak peduli lagi dengan lingkungan sekitar kita, sekarang lebih kepada "pundi" kita lihat, membantu tetangga saja sekarang harus mengeluarkan "piti", hilang sudah semangat gotong royong yang menjadi budaya bangsa kita dari mala lalu
dan yang Ketiga (3). Memperkuat regulasi, seperti mempertegas UU tamu 1x24 jam harus lapor, penindakan dan pencegahan secara jelas, sehingga siapa berbuat apa dan melakukan apa dan sanksi atau reward apa yang dapat diberikan
"Kita sepakat terorisme adalah musuh bersama dan harus kita atasi bersama," pungkasnya.(bh/mnd)
|