JAKARTA, Berita HUKUM - H-2 jelang Pemilu 2019 di Indonesia, pertemuan diiskusi Bincang-bincang Anak Zaman: 'Jika Terjadi Perubahan Politik Nasional' di bilangan Cikini Jakarta Pusat yang diselenggarakan Java Associate pada Senin (15/4).
Dalam kesempatan sesi diskusi yang digelar Java Associate pantauan pewarta BeritaHUKUM.com tampak hadir; Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edi Swasono menghadiri, serta beberapa orang tokoh aktivis, ekonom senior, akademisi, cendekiawan serta seniman budayawan seperti M.Hatta Taliwang, Edwin Sukowati, Salamuddin Daeng, Haris Rusli Moti, Wawat Kurniawan, Salim Hutajulu, Sri Bintang Pamungkas Wahyuni Refi, John Mempi, Ki Burhan Rosyidi dengan moderator Gigih Guntoro.
Kini, tentunya merupakan agenda perubahan politik nasional diharapkan terjadi, baik apakah terjadi pasca agenda Pilpres atau terjadi di luar sehubungan dengan gejala di dunia Internasional secara global.
Soalnya, menurut Salamuddin Daeng pengamat ekonomi politik menilai bahwa pada intinya masyarakat terbelah kondisinya..
"Tengok saja, di beberapa bidang baik ekonomi, maupun kini konsentrasi di bidang lain juga. Mengalami ketimpangan.., ada sekelompok menguasai sumber daya ekonomi," tukasnya sembari memberikan contoh Undang-Undang tentang Independensi Bank Indonesia.
"Modus awal menghancurkan keuangan nasional. Terjadi praktek BLBI yang notabene merupakan buffer praktek ekonomi, yang dalam teori ekonomi tidak rasional (masuk akal)," cetus Daeng.
Pemerintah mencetak uang untuk membeli Dollar ketika itu, jelas merupakan suatu kebodohan di tengah depresiasi ekonomi tinggi, ulas pengamat ekonomi AEPI tersebut.
"Sebenarnya uang tersebut balik lagi kemari, untuk amandemen UUD lalu kemudian untuk mengambil alih asset-asset sumber daya ekonomi masyarakat lainnya," papar Daeng..
Maka, selama berjalannya pemerintahan tentunya mensiasati secara tidak langsung mengatasi ketimpangan barang barang yang di-subsidi. "Penguatan BUMN, malah dijadikan bancakan dan dijadikan alat mencari Hutang. Jadi tidak heran ada 113 Triliun di Swiss Bank dan lain sebagainya. Bahkan dana Jamosostek, BPJS, Dana Haji dipakai untuk menutupi APBN," cetus Daeng.
"Maka itulah agenda perubahan ialah mengakhiri sistem yang ditopang BLBI yang terus menerus melakukan eksploitasi. Soalnya negara kita hanya menjadi objek garapan," tegas Daeng.
Di lokasi yang sama, John Memphi sebagai pengamat Intelijen menyampaikan bahwa Pilpres, eksistensi negara itu dipandang seperti ibaratnya dua (2) sisi mata uang. Satu adalah senjata dan kedua adalah uang. "Ujung-ujungnya Pilpres ialah uang, untuk kuasai sumber-sumber. Dan yang dikorbankan ialah rakyat nantinya," ungkap Mempi.
Padahal, dulu militer yang berjuang semua berpangkat Pamen, seperti Zulkifli Lubis, ibaratnya merekalah yang berada digaris pertempuran. Kini, pamen di media perundingan. "Mestinya kuasai lapangan, kuasai medan dan keluhan Jendral," cetus Mempi mengkritisi
"Tengok saja. kini rezim Jokowi sama dengan SBY, dimana lima tahun zaman SBY kelompok Makasar, kini di zaman Jokowi kelompok Batak. Nantinya, Prabowo apakah Halmahera, Makasar atau NTB kah ?," timpal John.
Kalau harapkan dari Jokowi, dari April hingga Oktober. Sementara, bila tidak bisa maka setelah Oktober berharap pada Prabowo. 1965, 1974, 1998, TNI yang terlibat dan gunakan rakyat sebagai trigger nya. "Hingga mampu benahi UUD'45, kembali dan meluruskannya kembali. Kalau tidak ini pembalakan Kapital," jelas Mempi.
Selanjutnya, Edwin Sukowati menilai bahwasanya penggulingan Soeharto proses melanggengkan amandemen UUD'45 itu, yang mestinya turunan sudah disiapkan.
Perlu diingat BLBI, bukannya itu saja. Dimana mengacu pada BPPN. "Dulunya setiap perusahaan diperbolehkan ngemplang, atau istilah ketika itu hair cut. Yang afiliasi dengannya 191 Triliun, sementara 685 triliun itu BLBI," ungkapnya
Luar biasa sekali "perampokan" ini, Salim (penguasa) saja dulu sudah punya 350 anak perusahan dimana memiliki asset yang pada tahun 1993 yang saat itu 2.000 triliun rupiah.
"Dimana kembali ke UUD'45, belakangan Prabowo sudah mulai katakan UUD'45. Soalnya, kalau Jokowi, pastinya Status Quo. Di dalam UUD 2002, yang dilindungi adalah parpol serta 7 lembaga yang akan hilang nantinya ini," Imbuhnya.
Soalnya, urusan sudah buntu bila mengharapkan Parpol. "Kembali ke UUD45, parpol sama saja bunuh diri."
Kecuali Prabowo menang dan mendukung kuasai DPR/MPR, maka masih memungkinkan. Karena itu, Pilpres ini tidak berlaku banyak," jelas Edwin, seraya berikan contoh, tengok saja itu seniornya ekonomi ada di BPPN, selain Sri Mulyani yang sudah jelas berada dikalangan neolib malah masih dipakai oleh jokowi.(bh/mnd) |