JAKARTA, Berita HUKUM - Puluhan keluarga korban dan ahli waris dari PLTA Tonsea siang hari tadi mendatangi kantor PLN pusat Jalan Terunojoyo Jakarta Selatan. Aksi ini merupakan bentuk kekecewaan dari keluarga ahli waris korban Jony Nelwan dimana tanah korban seluas 1,5 hektar dijadikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) PLN dan kasus ini sudah diajukan gugatan perdatanya hingga di tingkat Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2011 silam, namun belum ada realisasi ganti rugi sepeserpun yang diterima oleh para ahli waris dari total 54,7 milyar rupiah yang harus dibayarkan oleh PLN selaku tergugat yang telah dinyatakan kalah.
Padahal menurut Prank dijelaskan dalam salinan putusan kasasi MA bahwa tanah seluas sekitar 15.000 m2 itu sejak tahun 1920 tidak pernah dialihkan kepada pihak ketiga oleh pemiliknya Hendrik Nelwan.
“Jadi tanah itu benar-benar milik keluarga Nelwan, bukan milik PLN,” tegasnya, Kamis (10/1).
Keluarga korban selain melakukan orasi dan mimbar bebas, massa juga menggelar spanduk bertuliskan ‘'Dahlan iskan harus bertanggung jawab atas ganti rugi tanah rakyat Tonsea Rp 54,7 M berdasrkan putusan MA tahun 2011 Ahli waris korban PLTA Tonsea".
Sementara pihak Humas PLN, Bambang yang dihubungi pewarta melalui telepon security di lantai dasar gedung PLN, karena tidak bersedia menemui pawarta dan pendemo untuk turun kebawah mengatakan, ”kasus PLTA Tonsea Minahasa menunggu proses hukum, selanjutnya dan itu di diserahkan bidang hukum PLN, dimana masih mengajukan PK penundaan eksekusi, silahkan ke Bidang hukum lantai 2 saja,” ujarnya sambil memutuskan sambungan telepon.
Pewarta mencoba ke lantai dua menemui bidang hukum yang dimaksud, namun setelah lama menungu melalui asprinya mengatakan, “bapak sedang ada rapat dengan tamu,” ujar wanita yang mengaku Aspri kabid hukum PLN.
Kasus PTLA melawan PLN ini, papar Frank, sudah dimenangkan ditingkat Makamah Agung (MA) pada tahun 2011 silam, namun belum ada realisasi ganti rugi sepeserpun yang diterima oleh para ahli waris dari total 54,7 milyar rupiah yang harus dibayarkan oleh PLN selaku tergugat. "Kenapa PLN hingga kini tidak mau membayar. Ini berarti Mantan Dirut PLN Dahlan Iskan tidak menghargai hukum. Dahlan Iskan menantang dengan Undang-Undang nomor 21 tahun 2004, tapi tetap kalah di MA. Dalam hal ini BUMN tidak bisa jadi koboi di negara sendiri," tandas Frank.
Frank juga menambahkan setelah dijelaskan dalam salinan putusan kasasi (MA) bahwa tanah seluas sekitar 15.000 m2 itu sejak tahun 1920 tidak pernah dialihkan kepada pihak ketiga oleh pemiliknya Hendrik Nelwan. Jadi tanah tersebut benar-benar milik keluarga Nelwan, bukan milik PLN. Dengan demikian PLN harus membayar seluruh kerugian yang ditetapkan. "Tindakan tergugat yang memasuki, menguasai dan mendirikan bangunan serta fasilitas PLTA diatas tanah di Desa Tonsea Lama, Minahasa ini jelas melanggar hukum.
Apalagi selama tergugat menguasai tanah tersebut tidak pernah ada pembayaran apapun kepada penggugat, termasuk kontribusi bagi hasil atas untung produksi dan penjualan tenaga listrik. Kasus ini sejak November 2001 ini telah melewati tahapan panjang hingga tahun 2007, empat tahapan persidangan, dimenangkan keluarga besar Hendrik Nelwan. Pertama, menang dalam persidangan di Pengadilan Negeri Manado tahun 2001, dengan surat putusan No348/Pdt.G/2001. Kemudian menang kembali di Pengadilan Tinggi Manado pada tahun 2002, dengan putusan sidang nomor 196/PDT/2002/PT MDO, kemudian menang lagi pada pengadilan Makhamah Agung tahun2003 dengan surat putusan nomor 2291 K/Pdt/2003. Bahkan ketika PLN mengajukan PK tahun 2007, juga kembali dimenangkan pihak keluarga Nelwan dengan surat putusan pengadilan nomor 91 PK/Pdt/2007. Pada tahun 2011 pihak PLN mengajukan kasasi ke MA dengan tujuan menghambat eksekusi. Namun semua upaya PLN ini pun sia-sia "keok".
Sesuai putusan Peninjauan Kembali (PK) di MA, tanah tersebut dinyatakan merupakan hak keluarga Nelwan dan pihak PLN harus segera mengganti rugi sebesar Rp 54,7 miliar rupiah. Rincian ganti rugi yang harus dibayarkan sebagai berikut, nilai jual tanah sebesar 1,3 milyar, nilai produksi tanaman sebesar 580 juta dan 10% dari nilai profit PLN yang telah menggunakan lahan selama 58 tahun sebesar 52,75 milyar, sehingga total yang harus di bayar oleh pihak PLN kepada ahli waris keluarga nelwan adalah sebesar 54,7 milyar rupiah.
Kasus penyerobotan lahan ini sepertinya dianggap sepi oleh PLN. Karena itu para ahli waris tidak berhenti berjuang hingga eksekusi dilaksanakan. Tidak hanya berjuang hingga ke Jakarta, para ahli waris juga sudah beberapa kali melalukan demo di lokasi PLTA, namun tidak juga menggoyahkan kerasnya hati pihak tergugat untuk segera membayar. Bahkan para ahli waris Nelwan pernah sampai menduduki lokasi PLTA Tonsea Lama (TL) untuk menuntut ganti rugi lahan milik meraka seluas 1,5 ha.(bhc/put)
|