JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh mengecam kebijakan sekolah delapan jam perhari (Full-Day School). Ia meminta Mendikbud merevisi kebijakan tersebut, karena dinilai mengancam eksistensi madrasah diniyah.
'Kebijakan itu mengesampingkan jam belajar siswa di madrasah diniyah. Karenanya, perlu dikaji ulang," tegas politisi dari F-PKB dalam keterangan persnya.
Seperti diketahui, di daerah masih banyak sekolah yang memiliki jam belajar selama lima atau enam jam sehari, yakni dari pukul tujuh hingga pukul satu siang selama enam hari. Setelah itu siang atau sorenya, murid mengikuti madrasah diniyah.
Menurut Nihayah, sudah menjadi budaya sejak lama anak-anak sekolah di dua tempat, pagi di sekolah umum dan sore harinya mereka menambah pengetahuan di sekolah agama.
"Bentuk penghargaan negara terhadap usaha untuk mendidik masyarakat adalah salah satunya dengan menghormati dan mensupport keberadaan sekolah-sekolah diniyah ini. Bukan malah menghantam habis dengan kebijakan full-day school," kritisinya.
Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa setiap kebijakan harus bisa mengakomodir keinginan dan kepentingan seluruh peserta didik. Keberpihakan kebijakan seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat seluruhnya, bukan berat sebelah.
"Banyak hal yang mendesak untuk diperbaiki dalam pendidikan kita. Salah satunya, adalah pemerataan fasilitas pendidikan," ujarnya.
Sementara, rencana Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan yang akan memberlakukan jam belajar selama 8 jam sehari dan 5 hari sekolah (Senin-Jumat) pada tahun ajaran baru Juli 2017 mendatang, hakikatnya adalah program full day school yang akhir tahun lalu telah menimbulkan polemik di publik.
Menanggapi hal tersebut Anggota Komisi X DPR RI Reni Marlinawati mengatakan, padahal sejak awal pemerintah telah berkomitmen akan melakukan kajian secara komprehensif terkait rencana tersebut.
"Rencana tersebut dipastikan bakal berpotensi menimbulkan polemik dan kegaduhan baru di tengah masyarakat, karena sampai saat ini kita belum mendapatkan kajian atas rencana penerapan program tersebut," tegas politisi F-PPP itu.
Menurutnya, persoalan yang muncul akibat penerapan jam belajar selama delapan jam dalam sehari di antaranya adalah persoalan ketersediaan infrastuktur sekolah yang tidak memadai, masih banyak dalam satu sekolah dibuat dua gelombang jam sekolah, yakni pagi dan sore karena keterbatasan lokal sekolah.
"Selain itu, adanya kebijakan tersebut bakal menggerus eksistensi pendidikan non-formal keagamaan maupun kursus lainnya di luar jam sekolah seperti madrasah diniyah (madin) yang telah inherent dalam praktik pendidikan bagi anak-anak usia sekolah. Waktu belajar Madin yang dilakukan usai salat ashar setiap harinya dipastikan secara pelan tapi pasti akan hilang di tengah masyarakat. Waktu anak-anak usia sekolah akan habis waktunya di bangku sekolah," ujarnya.
Pendidikan keagamaan melalui jalur madrasah diniyah akan semakin minim diterima anak didik, lanjutnya, padahal di sisi lain kebijakan full day school sama sekali tidak memberikan alokasi penambahan materi pendidikan keagamaan kepada anak didik.
Reni menyatakan bahwa Fraksi PPP DPR secara tegas menolak rencana kebijakan penerapan jam sekolah delapan jam dalam sehari dikarenakan selain belum dilakukan kajian yang mendalam atas dampak penerapan tersebut baik dampak pada siswa, guru maupun kesiapan sekolah, kebijakan tersebut potensial berbenturan dengan eksistensi lembaga pendidikan non formal seperti madrasah diniyah (madin) yang telah eksis bersama kehidupan masyarakat Islam Indonesia.
"Kami meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan klarifikasi secara komprehensif tentang rencana tersebut dan melakukan kajian secara komprehensif terhadap dampak penerapan kebijakan tersebut. Jangan sampai masalah ini menambah kebingungan masyarakat. Saat ini masyarakat khususnya wali murid tengah berkonsentrasi menyiapkan tahun ajaran baru, daftar ulang anak sekolah, dan persoalan lainnya. Rencana penambahan jam belajar tersebut jelas akan menambah persoalan yang akan dihadapi oleh masyarakat," pungkasnya.(dep/mp/ann/sc/DPR/bh/sya) |